Kekayaan Ikan Indonesia
Indonesia sebagai negara tropis, kaya akan sumberdaya hayati, yang dinyatakan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Dari 7000 spesies ikan di dunia, 2000 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia kurang lebih 6,4 juta ton per tahun, terdiri dari : ikan pelagis besar (1,16 juta ton), pelagis kecil (3,6 juta ton), demersal (1,36 juta ton), udang penaeid (0,094 juta ton), lobster (0,004 juta ton) , cumi-cumi (0,028 juta ton), dan ikan-ikan karang konsumsi (0,14 juta ton). Dari potensi tersebut jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebanyak 5,12 juta ton per tahun, atau sekitar 80% dari potensi lestari. Potensi sumberdaya ikan ini tersebar di 9 (sembilan) wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (Lasabuda, 2013).
Indonesia adalah surga perikanan dunia. Menurut data potensi sumber daya perikanan yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015, Indonesia merupakan negara terbesar kedua penghasil ikan tangkap laut setelah Cina. Per tahun, produksi ikan yang dihasilkan mampu mencapai 5 juta ton. Terdapat 11 zona sumber ikan tangkap di Indonesia yang selama ini menjadi fokus Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Daerah dengan produksi tertinggi yakni Laut Jawa, Selat Karimata, Natuna, Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali (Darmawan, 2016).
Selain itu, Laut Indonesia merupakan laut terluas kedua di dunia (setelah Kanada) yang memiliki luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah ini meliputi laut Teritorial, Laut Nusantara, dan Zone Ekonomi Ekslusif. Selain itu, bukan hanya ikan yang begitu banyaknya tetapi juga sumber daya alam yang berlimpah. Setidaknya dalam pemberitaan berbagai media massa ditemukan ratusan bahkan ribuan kapal asing yang sedang menjarah ikan di Indonesia (Siregar, 2016).
Indonesia juga dapat memanfaatkan sumber daya ikan di perairan laut lepas (high seas). Hal ini dikarenakan, posisi perairan Indonesia yang berhadapan langsung dengan dua perairan internasional, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Tentu saja, pemanfaatan sumber daya ikan di perairan laut lepas oleh suatu negara pantai (coastal state) di dasarkan pada asas kekebasan yang melekat pada rezim laut lepas (Tarigan, 2015).
Melihat potensi kekayaan laut, termasuk di dalamnya potensi perikanan, Indonesia tidak pantas memiliki utang luar negeri, apalagi dalam jumlah besar sebagaimana yang terjadi saat ini. Potensi laut Indonesia sebesar 171 miliar dolar AS per tahun. Khusus potensi ikan, sebesar 32 miliar dolar AS per tahun. Jika potensi itu dikelola dengan optimal, Indonesia akan menjadi negara yang sangat kaya (Sajarwo, 2014).
Pencurian Ikan
Pengelolaan laut di Indonesia tentu harus mencerminkan keberpihakan dan keadilan terhadap penduduk Indonesia khususnya nelayan yang menjadikan sektor kelautan sebagai sumber utama mata penceharian untuk menghidupi keluarga. Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan persaingan global antar negara -- negara maju dan berkembang menyebabkan terjadinya berbagai macam tindak kejahatan di bidang perikanan, salah satunya adalah tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) (Khairi, 2016).
Penangkapan ikan secara illegal, atau yang disebut pencurian ikan (Illegal Fishing) sangat merugikan negara maupun nelayan tradisional. Nelayan tradisional yang merupakan masyarakat indonesia, sehingga masyarakat pesisir tersebut juga terkena imbas dari pencurian ikan ini. Selain itu, masyarakat lain yang menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena tidak bisa menikmati hasil laut di negeri sendiri. Secara makro, Ikan-ikan Indonesia yang dicuri lantas diolah dengan peralatan mumpuni sehingga meningkatkan harga jualnya di luar negeri (Tribawono, 2011).
Para pencuri ikan, seperti telah disebutkan sebelumnya, tanpa konvensi antar pencuri, mereka seolah telah mengapling lautan Nusantara. Laut Cina Selatan sepertinya sudah di bawah kekuasaan nelayan liar asal Thailand. Lautan sekitar Indonesia Timur sepertinya sudah menjadi wilayah kekuasaan nelayan liar Cina. Permasalahan berikutnya bukan nelayan liar lagi, tetapi pengusaha ikan legal yang meminta izin dari pemerintah Indonesia. Mereka ingin berusaha di lautan Indonesia untuk mengeduk keuntungan dengan member pajak atau imbal hasil dengan pemerintah. Pengusaha-pengusaha demikianlah yang kerap menjadi "lawan alias musuh' nelayan tradisional kita yang bertahan berdasarkan hukum laut otonomi daerahnya (Damanik, 2010).
Dengan motif dan modus operandi, illegal fishing dapat digolongkan sebagai kejahatan ekonomi (economic crime). Hal ini sangat beralasan, sebab di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, antara lain menegaskan bahwa : " Pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peran pengawas perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan dapat berjalan secara berkelanjutan" (Lewerissa, 2010).