Penggung politik semakin hari semakin ramai. Saat ini ada 2 capres terkuat yang ada. Mereka adalah Jokowi dari PDIP dan Prabowo dari Gerinda.
Yang menarik adalah saling serang antara kedua kubu. Bagi yang merasa simpatisan salah satu Capres tersebut tidak perlu munafik kalau tidak ada politik tak sehat, saling menjatuhkan.
Politik Penuh Janji Palsu
Jauh sebelum pemilu 2014 saat ini ternyata ada yang namanya Perjanjian Batu Tulis (2009), saya juga tidak tahu kenapa ada perjanjian macam itu. Ketika PDIP mengumumkan Jokowi sebagai capresnya, Gerindra langsung kalang kabut, mungkin saja Gerindra takut Prabowo kalah dari Jokowi? entahlah. Yang jelas Gerindra kecewa karena PDIP telah mengingkari perjanjian tersebut. Dalam perjanjian tersebut kedua partai sepakat untuk mendukung Prabowo sebagai Capres pemilu 2014. Publik Indonesia pun kaget, hebat sekali 2 partai besar ini, mereka sudah memiliki capres untuk pemilu 2014 dari tahun 2009. Meskipun pada akhirnya PDIP mengingkarinya.
Pada saat PDIP mengumumkan capresnya, Gerindra langsung mengungkit perjanjian tersebut. Wajar saja, Prabowo adalah calon terkuat andai kata Jokowi tidak jadi Capres. Sedangkan PDIP disini tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan berbagai survey yang menilai Jokowi adalah Capres dengan elektabilitas tertinggi.
PDIP bergeming, mereka menganggap bahwa Perjanjian itu tidak berlaku lagi, sebab mereka beranggapan bahwa perjanjian itu hanya berlaku jika Megawati-Prabowo menang saat itu. Sedangkan Gerindra menganggap bahwa PDIP telah inkar janji, mereka mengingkari perjanjian yang ditanda-tangani diatas Materi. Luar biasa bukan? Lalu siapa yang benar disini?
Yang perlu diperjelas disini adalah PDIP dan Gerindra telah mencoreng Demokrasi yang ada di Indonesia. Kenapa? Karena kedua partai ini telah membatasi Capres pada pemilu 2014 sejak tahun 2009. Bukankah hak menjadi presiden itu hak setiap warga negara?
Sebenarnya disini masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa dalam panggung politik, teori “hari ini kawan, besok lawan” adalah benar adanya. Dan dalam politik tidak ada yang pasti, oleh karenanya kita tidak boleh mudah percaya dengan janji-janji politikus. Perjanjian bermaterai saja dilanggar? Meskipun saya belum tahu siapa sebenarnya yang salah disini.
Puisi pun menjadi senjata mematikan
Saling serang antara kubu Prabowo dan Jokowi pun berlanjut ke dunia sastra. Puisi menjadi alat singgung-menyinggung yang menjadi andalah kedua kubu. Awalnya serangan dilancarkan oleh Fadli Zon dengan puisi-puisinya yang berjudul “Raisopopo”, “Air mata buaya” dan “Sajak seekor ikan” serta puisi berjudul “Sandirwara”. Sedangkan yang meladeni serangan tersebut adalah fachmi habcyi kader muda PDIP ini membalasnya dengan puisi berjudul “Pemimpin tanpa kuda”, “Rempong”, “Aku isoopo” serta puisi “Kembalikan mas wiji”.
Fadli Zon tidak pernah mengaku bahwa puisinya tersebut untuk Jokowi, meskipun setiap orang yang membaca puisi tersebut dapat dengan mudah menebak bahwa itu ditujukan untuk Jokowi. Yang menarik disini, Jokowi tetap santai menanggapi puisi tersebut, “Hanya puisi saja kok, ya angin lalu lah. Tetap Aku Rapopo,” kata Jokowi seraya tertawa dan menggerakkan bahunya (Kompas, 18/4/2014). Jokowi malahan mengaku bahwa Ia lebih suka membaca puisi milik Wiji Thukul, salah satu aktivis korban penculikan tim mawar dan kopasus.
Munculnya puisi-puisi dari Fadli Zon ini membuat simpatisan Jokowi geram, banyak simpatian Jokowi dimedia online yang menantang Faldi Zon membuat puisi tentang kasus penculikan dan pelanggaran ham di era orde baru. Salah satu yang terang-terangan menantang Fadli Zon adalah Fadroel Rachmad, melalui akun twitternya pengamat politik ini menantang Fadli Zon membuat puisi tentang penculikan. Belakangan kubu Prabowo menilai ada kekuatan besar dibalik pendukung media online Jokowi. Entahlah benar atau tidak?
Pelanggaran Ham
Setelah perang puisi, kini lahir lagi gerakan tolak calon Presiden pelanggar hak asasi manusia. Mereka adalah puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi nonpemerintah yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa. Adapun organisasi yang terlibat dalam deklarasi tersebut adalah Imparsial, KontraS, YLBHI, Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, dan LBH Pers. Menurut Fadly Zon, gerakan ini sarat dengan kepentingan politik, karena dilakukan menjelang Pilpres 2014. Fadly mempertanyakan kenapa tidak dari dulu mereka menggugat. Gerekan ini ia nilai sebagai upaya untuk menghadang Prabowo. Sementara itu aktivis Kontras, menilai bahwa mereka sejak dulu memang selalu mengawal isu ini dan mereka tidak ditunggangi kepentingan politik. Entahlah siapa benar?
Selain itu ada juga aktivis era 98 (Pena 98) yang paling vokal menolak pencapresan Prabowo, mereka menilai bahwa kasus pelanggaran ham yang diduga melibatkan Prabowo belum selesai. Sikap dari Pena 98 ini di tentang mantan ketua PRD, Haris Rusly. Ia menganggap bahwa kelompok aktivis 98 itu telah dicuci otak, bahkan yang lebih parah ia menggap bahwa mereka seperti orang kesurupan yang mengikuti aliran sesat. Jadi siapa yang benar disini? Pantaskah Indonesia dipimpin oleh Orang dengan kasus pelanggaran ham?
Jokowi Diusung Partai Terkorup
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh ICW, Partai dengan angka Korupsi tertinggi adalah PDIP. Jumlah kader PDIP yang terlibat kasus korupsi sejak tahun 2002-2014 adalah 113 kasus. DI urutan kedua ada Golkar dengan 73 kasus, sedangkan partai yang akan mengikuti Pilpres yang terendah adalah PKS dengan 3 kasus.
Partai demokrat sebenarnya bukan yang tertinggi, sayangnya karena mereka adalah partai pemerintahan, makanya media selalu meliput kader-kadernya yang korupsi tempo hari. Akibatnya elektabilitas partai inipun turun drastis, begitun dengan hasil Pilpres 9 april lalu.
Lalu mengapa PDIP yang angka korupsinya tertinggi malahan melambung?. Mungkin saja karena pemberitaan media yang kurang dan karena mereka adalah partai oposisi pada 2 periode terakhir. Disamping jokowi effect.
Wajar saja jika banyak pihak yang menuding jika jokowi dibantu media untuk menaikan elektabilitasnya.
Lalu pantaskah partai dengan angka korupsi tertinggi memimpin Indonesia kedepannya?
Jadi Pemilih Cerdas
Terlepas dari 2 calon terkuat diatas, apabila ada calon lain yang menurut anda pantas silahkan anda pilih. Jangan Golput. Satu suara yang kita tentukan akan menentukan nasib Indonesia kedepannya. Dan yang terpenting adalah sebelum memilih, kita harus mengetahui track record capres tersebut. Jangan memilih berdasarkan suku, agama, ras. Jangan memilih yang merusak lingkungan tentunya.
Bersambung.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H