Sosoknya begitu gagah menunggang kuda dengan tombak di tangan kananya tidak ada rasa takut yang terpancar dari ujung terompah hingga pucuk sanggul wanita nan berwibawa itu. Tak ingat lagi kapan perisnya mulut bocah polos yang kala itu bertanya kepada sang ayah dari jok paling belakang mobil rental yang digunakan mudik Gunungkidul-Purworejo ketika melewati kota Wates. "Pak kuwi sopo sing numpak jaran?" (Pak itu siapa yang naik kuda?) Sang ayahpun menjawab "Kuwi jenege Patung Nyi Ageng Serang le" (itu patung Nyi Ageng Serang nak).
Meskipun peristiwa itu sudah berlangsung belasan tahun lalu masih terasa betul kesan mendalam kala pertama kali saya berkenalan dengan patung itu melalu ayah.
Belakangan ketika saya dewasa dan mencoba mencari ternyata beliau adalah Panglima Perang Wanita bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi seorang Pahlawan Nasional yang berjasa dalam mengatur siasat Perang Jawa bersama Pangeran Diponegoro. Mungkin selain lewat ibu saya patung ini juga turut andil menghantarkan dan memberi pemahaman bahwa ada makhluk kuat yang bernama "Wanita".
Dalam catatan sejarah Bangsa Indonesia banyak peran-peran penting yang dijalankan oleh kaum hawa bahkan jauh sebelum era Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, R.A Kartini, dan Dewi Sartika. Sebut saja Laksamana Malahayati dari Aceh, Tribhuwana Wijayatunggadewi penguasa ketiga Majapahit, hingga Ratu Sima penguasa Kalingga abad-7 M.
Mereka adalah wanita-wanita yang menorehkan tinta emas dalam catatan sejarah. Ini bukanlah dongen yang digunakan untuk memuja dan mengangkat harkat martabat wanita ditengah budaya masyarakat yang katanya "patriaki". Faktalah yang berbicara dan lebih dulu menemani perjalanan Bangsa Indonesia sekaligus bukti bahwa dalam kontes sejarah, wanita diberikan ruang untuk tampil dan berkiprah.
Beyond Macak, Masak, Manak.
Ada pemahaman yang berkembang dalam konteks Masyarakat Jawa bahwa ukuran ideal wanita itu yang penting mampu Macak (berhias), Masak (memasak), Manak (melahirkan). Pemahaman ini pada akhirnya menempatkan posisi wanita sebatas kanca wingking. Sebentar, sebentar...
Kenapa ketika kita membaca ulang sejarah dan menarik sedikit ke belakang, justru ditemukan fakta sebagaimana yang telah diuraikan di atas? bahwa kita akan menemukan sosok-sosok wanita heroik yang tidak sekedar macak, masak, manak, tapi menghunus senjata dan berani bunuh-bunuhan dengan musuh(penjajah). Bahwa dalam catatan sejarah kita juga temukan struktur tata kenegaran kerajaan terdahulu yang wanita bahkan pernah menjadi pimpinan tertingginya.
Kenyataan seperti ini hanya secuil dalam catat sejarah, bagaimana dengan sumber-sumber yang berasal dari cerita turun-temurun? babad-babad yang bertebaran dalam memeori generasi tua negeri tentang figur wanita sakti, tentang cerita yang menempatkan wanita pada sisi yang mulia, atau cerita penghormatan terhadap wanita, bahkan dongeng pengorbanan pria untuk wanita tercintanya. Bagi saya ini cukup untuk meyakinkan betapa leluhur berusaha memberikan pemahaman yang tepat berkaitan tentang posisi dan kedudukan seorang wanita.
Budaya jawa contohnya menempatkan perempuan secara proporsional bahkan sakral dihadapan laki-laki. Sejak zaman Jawa Kuno kita melihat bahwa maskulinitas dan Femininitas merupakan bagian dari olah sprirtualiutas yang posisinya equal, saling melengkapi, dan sakral. Anda akan menemukan konsep Lingga-Yoni, Siwa-Sakti, Bopo Angkoso-Ibu Pertiwi dan lain sebagainya. Dari rahim konsep keselarasan inilah terlahir budaya-budaya adiluhung yang masih bisa kita jumpai di pelosok-pelosok negeri.
Jangan kaget kalau kita temukan stilasi organ vital laki-laki dan perempuan pada bangunan candi, juga cobalah amati serasinya gunungan kakung-estri di Kraton Yogyakarta, manten(pernikahan) tebu di Pabrik Gula Madukismo atau sesekali berkunjuglah ke dusun-dusun di Jawa dan dapatilah jenang abang-putih sebagai simbol kama pethak dan kama abang. Semua hal itu adalah perwujudan keharmonisan dan sakralnyanya relasi laki-laki dan wanita.