Hal ini selalu menjadi pertanyaan yang sulit untuk saya jawab di awal pertemuan saat mahasiswa menanyakan, "Berapa usianya, bu? Apa statusnya, bu? Terus kenapa ibu mau jadi dosen?" Hal itu kadang membuat diri saya terdiam sejenak. Saya juga masih bingung dan kadang bertanya pada diri-sendiri, apakah yang saya lakukan saat ini memanglah sesuai dengan misi.
Saya juga menanyakan hal yang sama pada beberapa rekan dosen baru yang masih muda tentang bagaimana pengalaman mereka bertemu dengan mahasiswa. Mahasiswa itu juga menanyakan hal yang sama kepada mereka. Tetapi lain hal dengan beberapa dosen baru yang sudah berusia jauh lebih tua daripada kami, mahasiswa-mahasiswa itu tidak berani berkutik.
Pengalaman pertama menjadi dosen itu sedikit membuat saya menjadi ketir karena harus berhadapan dengan orang-orang dewasa yang jauh lebih berpengalaman dalam hal mengajar. Selain itu, saya harus berhadapan dengan mahasiswa yang pasti jauh lebih kritis pola pikirnya daripada anak pelajar di sekolah. Setiap butir kata harus dicerna dengan baik sebelum dilontarkan kepada mereka. Dulu, sewaktu saya masih kuliah di bangku sarjana mungkin tidak sekritis mereka, gumam saya.
Saya dapat dibilang termasuk dosen yang masih muda (termuda) untuk mengajar di kampus tersebut. Kalau dikatakan masih muda, berarti orientasi mencari pengalaman dari kampus tersebut bukanlah hal yang buruk untuk dilakukan. Pengalaman untuk melatih kemampuan berkomunikasi, melatih mental untuk lebih percaya diri, melatih kemampuan beradaptasi dengan dosen-dosen senior, melatih mendapatkan sedikit banyaknya tekanan pekerjaan, melatih untuk membuat anak didikan dapat memahami setiap materi yang diajarkan dan banyak lagi. Tantangan berhadapan dengan mahasiswa itu tidak menjadi hal yang mudah untuk dilalui dengan cepat.
Sebelum masuk ke materi yang diajarkan, saya harus mempersiapkan banyak hal. Mulai dari bahan ajar, soal-soal dan bahkan memikirkan hal-hal apa yang dapat dibagikan sebagai informasi tambahan yang bermanfaat di luar dari materi yang saya ajarkan. Hal ini saya lakukan agar suasana belajar dapat lebih menyenangkan dan terkesan tidak terlalu kaku atau monoton. Saya harus mengulangi materi yang dulu pernah diajarkan, memikirkan referensi yang mudah dipahami mahasiswa, memikirkan aplikasi pembelajaran dan membuat pertanyaan untuk diri sendiri yang mungkin dapat menjadi pancingan untuk didiskusikan selama belajar di kelas.
Kampus sekarang di tempat saya mengajar ini memberikan keleluasaan bagi mahasiswanya untuk kuliah sambil bekerja. Jenis pekerjaan yang mereka kerjakan bermacam-macan, seperti menjadi operator di pabrik, sales promoter, admin kantor, membantu berjualan di pasar, dan lain-lainnya. Hal ini tentunya menjadi tantangan baru bagi saya.
Mahasiswa yang bekerja tentu sudah merasa kelelahan dan tidak produktif lagi untuk konsentrasi dalam belajar. Tak jarang mereka tidak menyimak dengan baik dan suasana ruangan menjadi ribut, tidak kondusif. Bertepatan pula, materi yang saya bawakan termasuk yang dihindari dan tidak menyenangkan bagi mereka. Saya tidak bisa memaksakan diri untuk membuat mereka mengerti tentang apa yang saya ajarkan.
Namun, dibilang saya terlalu idealis tidak juga. Mahasiswa yang saya hadapi tidak semuanya punya keinginan untuk belajar. Tak sedikit dari mereka tidak memahami hal-hal yang menjadi dasar acuan untuk belajar. Contohnya pengerjaan soal-soal keuangan yang melibatkan aljabar matematika sederhana. Harapan untuk bisa mengajarkan sesuatu sampai tuntas pada hari itu selalu tidak sepenuhnya tercapai. Saya dituntut untuk menjadi lebih sabar dan lebih pelan menyampaikan setiap materi. Tetapi, tidak sedikit pula di antara mereka yang tidak memberikan perhatian belajar dan membuat keributan.
Suasana lingkungan kerja yang bising membuat saya tidak produktif mengajar. Ada yang memainkan handphone, memainkan sepenggal musik yang secara sengaja/tidak sengaja dari akun sosial mereka, dan bahkan ada yang kedapatan mengunyah saat saya mengajar di depan ruangan. Saya selalu berhadapan dengan mahasiswa yang tidak disiplin, hampir di setiap hari saya mengajar.
Meskipun saya mencoba untuk menahan diri, terkadang lepas kendali juga. Kalau mengambil sikap untuk tidak peduli, saya merasa terbeban dan bersalah sebab mendiamkan hal-hal yang tidak benar, apalagi menyangkut attitude atau karakter seseorang. Tantangan menghadapi mahasiswa yang krisis attitude-nya.