Lihat ke Halaman Asli

Penny Lumbanraja

A girl who love vegetables and fruits. Bataknese.

Harga Kelapa Sawit Anjlok

Diperbarui: 28 Maret 2019   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: www.infosawit.com

Oleh: Penny Charity Lumbanraja


Petani Kelapa Sawit di Labuhan Batu kewalahan, lantaran harga Tandan Buah Sawit (TBS) kian terpuruk. Harga minyak sawit Indonesia kandas di pasar internasional. Kondisi ini mulai terjadi sejak Bulan April 2018 lalu. Sejak 3 tahun terakhir , harga setiap TBS pernah turun tetapi tidak lama kemudian pulih kembali.

Khususnya di jalur Lintas Sumatera Utara, masyarakat banyak menggantungkan dirinya pada pertanian kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan komoditas andalan bagi mereka yang dijadikan sebagai sumber pendapatan utama.

Situasi ini terjadi diakibatkan adanya pergesekkan ekonomi antara negara Amerika Serikat dengan China sehingga menyebabkan permintaan akan CPO (Crude Palm Oil) berkurang. Ketua Umum Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Joko Supriyono mengungkapkan nilai ekspor minyak kelapa sawit RI dari Januari-April 2018 mencapai 10,24 juta ton atau turun sekitar 4% dibandingkan tahun 2017 lalu.

Negara-negara tujuan utama pada April 2018 ini, pada umumnya telah terjadi penurunan impor minyak sawit dari Indonesia. Khususnya negara China, India, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. China telah memberlakukan penurunan impor minyak sawit sejak Maret 2018 lalu hingga 40 persen diakibatkan para trader yang sedang menunggu peraturan baru terkait akan pajak impor minyak nabati.

Selain itu, sejak Juni 2018 silam, ekspor minyak sawit ke India tergerus 24 persen dikarenakan pemberlakuan tarif impor yang tinggi oleh India. Padahal, saat itu memasuki hari raya Ramadhan diperkirakan permintaan akan minyak sawit bakal meningkat. Namun, ramalan permintaan meleset jauh.

Berbeda dengan negara Uni Eropa yang membukukan penurunan impor sebesar 17 persen karena pengaruh stok minyak rapeseed (biji tanaman Brassica napus yang dapat diolah menjadi minyak) dan berbagai aksi negatif terkait akan minyak sawit. 

Dan di Amerika Serikat, ekspor minyak sawit dari Indonesia menurun paling besar yang tercatat hingga 42 persen. Penurunan di Amerika Serikat ini disebabkan stok kedelai yang tinggi di dalam negeri sebagai akibat dari retaliasi negeri Tirai Bambu terhadap AS yang memberlakukan pajak yang tinggi pada produk-produk yang diimpor dari China. Hal ini yang membuat China berbalik menyerang dengan tarif tinggi terhadap impor kedelai dari AS.

Padahal pada kondisi menjelang akhir tahun di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, faktor iklim atau curah hujan sangat mendukung potensi produktivitas kelapa sawit.

Ketidakseimbangan antara permintaan dengan hasil produksi menyebabkan banyak TBS menumpuk dalam atrian untuk dipanen dan bahkan tidak laku terjual. Tidak sedikit lahan perkebunan tertumpuk akan TBS-TBS yang seharusnya siap panen menjadi membusuk.
Petani kelapa sawit labuhan batu menjerit. Penurunan harga yang signifikan hingga 40 persen ini membuat situasi ekonomi keluarganya berada pada ambang parah. Beberapa petani di daerah menjual lahan perkebunan kelapa sawitnya karena harga yang tidak menjanjikan lagi.

Selain itu, disebabkan kurangnya anggaran petani untuk memberikan perawatan lahan perkebunan. Perawatan kelapa sawit merogoh biaya yang cukup besar. Intensitas perawatan harus rutin dilakukan. Seperti pembersihan rumput disekitar piringan, pemotongan pelepah secara berkala, pemupukan yang proporsional, pemeriksaan saluran air (drainase), serta upah pendodos saat kelapa sawit akan dipanen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline