Lihat ke Halaman Asli

Penny Lumbanraja

A girl who love vegetables and fruits. Bataknese.

Medan, Kota Keenam Termacet di Indonesia

Diperbarui: 9 Desember 2018   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Oleh Penny Charity Lumbanraja

Harian Kompas (2018) mencatat, Medan menempati peringkat enam kota termacet di Indonesia. Durasi kemacetan mencapai 42 jam dalam setahun. Itu artinya, warga Medan telah menghabiskan umurnya selama dua hari penuh hanya di jalanan. Konyol sekali!

Kita juga saksikan, pada jam-jam sibuk kerja, jalanan kerap diwarnai caci maki, umpatan yang diselingi riuhnya klakson dan deru mesin kendaraan. Belum lagi udara yang cemar oleh polusi. Suasana itu tentu menambah tingkat stress masyarakat pengguna jalan.

Kemacetan diperparah lagi dengan pertumbuhan angka pengguna kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Volume kendaraan mengalahkan jumlah penduduk. Situs Republika.co.id (16/4) mencatat, jumlah penduduk kota Medan, sekitar 2,5 juta sementara jumlah sepeda motor mencapai 2,8 juta unit. Sedangkan rasio jumlah kendaraan pribadi dengan kendaraan umum 97,8 persen berbanding 2,2 persen. Artinya, kendaraan pribadi menyesaki jalanan umum.

Data ini menjelaskan secara gamblang, fenomena sesaknya jalan raya kita oleh mobil mewah, yang penumpangnya rata-rata satu dua orang. Erry, Bagian Marketing Pertamina menyatakan, pemakaian bahan bakar minyak di Sumut mencapai 5,222 kL perhari. Kebutuhan konsumsi ini terus meningkat. Kalau pengguna mobil hanya seorang, konsumsi setiap liter bensin atau solar tentu sangat boros.

Entah sampai kapan persoalan kemacetan ini berakhir. Bisnis jual mobil seakan tiada matinya. Perusahaan raksasa terus berkompetisi memproduksi kendaraan baru. Angka penjualan dipastikan terus membengkak. Dan sudah pasti, kendaran-kendaraan itu harus berakhir di jalanan. Sementara panjang dan lebar badan jalan nyaris tak pernah ditambah. Sebelas dua belas dengan usaha membangun akses transportasi massal. Sampai saat ini masih sebatas rencana, yang entah kapan diwujud-nyatakan.

Barangkali, lima atau sepuluh tahun lagi, ketika populasi terus bertambah, jumlah kendaraan membengkak tetapi infrastruktur jalan tetap, barulah kita sadar. Sekali warga keluar rumah dengan membawa motor atau mobilnya masing-masing, jalanan akan menjadi lautan kendaraan. Kemacetan menjadi santapan harian, tingkat stress meningkat. Dan bisa jadi, tindak kriminalitas juga makin kompleks.

Belum lagi bicara soal buruknya drainase. Sekali kita memasuki musim penghujan, air menggenangi jalan raya. Di beberapa titik di Kota Medan berubah menjadi kolam. Kendaraan terjebak banjir. Mesin berpotensi rusak, aktivitas harian terganggu dan pertumbuhan ekonomi terkendala.

Harus kita akui, sulit betul mengharapkan persoalan kemacetan tuntas di Kota Medan ini. Selama masyarakatnya enggan memakai kendaraan umum, dan pemerintah terus menunda pembangunan Light Rapid Transit (LRT) atau kereta api ringan dan Sistem Transportasi Massal atau Mass Rapid Transit (MRT), kemacetan akan terus menghantui.

Masterplannya sudah ada. Sekarang bagaimana Pemko Medan bisa mengeksekusinya. Dan tentu saja, masyarakat tidak boleh tinggal diam. Kita musti ikut berkontribusi. Salah satunya dengan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan mulai beralih ke angkutan umum. Dengan cara itu, kita tak lagi hanya menggerutu, tetapi sudah turut menyumbang solusi konkret.

Jika angka kendaraan pribadi berkurang di jalan raya, badan jalan akan terasa lebih longgar. Arus lalu lintas menjadi lancar, yang pada gilirannya efektif menekan tingkat stress pengguna jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline