Lihat ke Halaman Asli

Langit Pun Tersenyum

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Aku melangkah perlahan menyusuri bibir pantai Pulau Wakatobi, salah satu taman laut di Indonesia. Aku beruntung dapat menikmati diorama surga bawah lautnya kemarin, ditemani Instruktur Diving andal. Namanya Alice Thomson, dari namanya saja sudah dapat tertebak kan? Dia bukan WNI, dia warga negara Australia. Sekalipun demikian dia sangat fasih berbahasa Indonesia, usut punya usut, Ibunya orang Indonesia dan dia sudah hampir enam tahun tinggal di Indonesia. Jadi wajar sekali bahasa Indonesianya sangat lancar.

Dan aku sendiri, namaku Panji, aku seorang pegawai di Sebuah perusahaan Otomotif terbesar di Indonesia. Saat ini posisiku sebagai General Manager. Cukup lumayanlah posisi tersebut untuk ukuran anak muda berusia 29 tahun seperti aku. Tapi kisah asmaraku tak sesukses karierku, bulan lalu, aku dan Tasya, tunanganku, memutuskan mengakhiri hubungan yang sudah terjalin delapan tahun. Bayangkan saja, untuk pasangan yang mungkin baru satu atau dua tahun saja saat putus cinta sudah sangat menyakitkan. Apa lagi dengan hubunganku dengan Tasya yang sudah delapan tahun dan sudah merencanakan sebuah pernikahan yang indah.

Hatiku remuk redam, ketika di suatu sore, saat aku mengunjungi Apartement Tasya, ia tengah asyik-masyuk dengan seorang lelaki di kamarnya. Lelaki yang tidak lain adalah sahabatku sendiri. Lalu kubuang saja cincin yang telah melingkari jemariku selama tiga tahun ini, cincin sebagai tanda aku telah terikat dengan Tasya. Ah, tapi kesetiaanku tak berbalas apapun, selain dari pengkhianatan belaka. Tiga kali pukulan kudaratkan ke wajah sahabatku sebelum akhirnya aku meninggalkan mereka yang tengah setengah bugil.

Dua minggu setelah kejadian itu, aku memutuskan sejenak waktu cuti dari pekerjaanku. Sebab pikiranku sedang tak bisa diajak kompromi. Kuputuskan untuk menyendiri di sebuah pulau yang eksotik, pulau yang bisa menenangkan pikiranku. Pulau Wakatobi.

Langkahku semakin menjauh dari Resort tempatku menginap, senja di ufuk barat membaur dengan siluet seorang wanita. Bulan berwarna gading pun telah mengintip di kubah langit yang masih biru di antara celah-celah pelepah pohon kelapa. Terhentilah langkahku di sebuah dangau yang sudah lama tak ditempati. Dangau berlantai tanah, berdinding anyaman rotan, dan beratap daun rumbia. Di depan dangau itu terdapat sebuah bale bambu, di sanalah siluet yang Tampak dari jauh tadi seperti seorang wanita dan benar saja, wanita itu Alice, Instruktur Divingku kemarin.

"Hai, Alice, sedang apa di sini sendirian."

"Hai, Panji, ini memang tempat favoritku saat sore. Dari tempat ini, langit senja tampak indah. Lihatlah garis horizon yang terbentang di cakrawala sana. Indah sekaligus damai. Aku suka tempat seperti ini."

"Memangnya di Australia gak ada pemandangan seperti ini?"

"Ada, tapi tak seindah di Indonesia. Harusnya orang Indonesia bersyukur sekali dikaruniai alam sedemikian indah. Dan merawatnya. Aku iri dengan negerimu, Nji. Surga ada di mana-mana."

"Hmm, by the way , kamu menjadi Insturktur Diving di sini sudah berapa lama, Lice?"

"Sejak kapan ya, aku lupa, yang pasti sejak Ayahku mengajaku ke tempat ini. Aku telah jatuh cinta dengan Wakatobi."

"Aneh, di tempat terpencil masih ada saja orang yang sepertimu."

"Ya, namanya sudah jatuh hati pada pandangan pertama, Nji. Mungkin kalau saat itu Ayahku mengajak ke Lombok, kamu gak akan bertemu denganku di sini, Nji. Eh tapi apa yang membawamu ke sini, sendirian lagi. Biasanya yang ke sini tuh bareng teman-teman atau paling tidak honeymoon."

"Apa ya, hmm... Sesuatu yang sangat pribadi, yang ingin segera mungkin aku lupakan."

"Hmm, baru patah hati ya. Ya sudah kalau kamu tak mau bercerita tidak apa-apa. Semoga tempat ini dapat membuat kamu happy kembali."

"Hehehe... Bukan hanya patah hati, tapi remuk redam..." Ucapku, lantas kuceritakan seluruhnya kisah yang membawaku ke Pulau Wakatobi ini.

***

"Aku turut prihatin denganmu, Nji." Kata Alice setelah mendengar ceritaku.

"Thank's ya, Lice. Mau dengarin ceritaku."

"Dulu, Ayahku pernah mengatakan ini padaku, perkataan yang sampai saat ini aku ingat. Seseorang tak perlu hidup di masa lalu, yang terpenting adalah masa sekarang. Bagaimana cara hidup di masa ini, itu jauh lebih berharga dari kebanggaan dan kebahagiaan masa lalu. Bagaimana menjalani hidup di masa ini lebih terhormat daripada menyesali langkah salah yang telah terlewat. Begitu kata Ayahku, ketika aku mengalami hal yang sama denganmu. Berbahagialah, dengan begitu maka dengan sendirinya kenangan pahit dalam hidupmu akan terhapus perlahan, Nji."

"Terima kasih sekali lagi, Lice."

Wow! Mungkin satu kata itu yang ada di kepalaku ketika kata-kata yang keluar dari bibirnya meruntuhkan kegamangan dalam hatiku. Wanita yang duduk di sampingku, di bale bambu di sebuah dangau tua tak hanya mengajariku menyelami laut kemarin, tapi senja ini ia mengajariku lagi menyelami kehidupan jauh lebih dalam. Kali ini aku dapat tersenyum lepas, mungkin demikian juga dengan langit di atas kepalaku, ia pun tersenyum.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline