Jika kita bicara mengenai pengelolaan sampah di Indonesia, umumnya pengelolaannya terbatas pada pola kumpul-angkut-buang. Sebuah sistem yang benar-benar bergantung pada lembaga pengelola sampah untuk mengumpulkan dan mengangkut serta TPA sebagai tempat "penimbunan" sampah. Namun, akhir-akhir ini tampak tidak asing ketika melihat adanya tumpukan sampah yang dibiarkan menggunung akibat kendala pengelolaan sampah terkait kondisi TPA yang tidak memadai atau bahkan terkena bencana kebakaran. Istilah "darurat sampah" sungguh menggambarkan kondisi kegagalan kita untuk mengelola sampah dengan baik.
Salah satu upaya untuk mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA adalah dengan melakukan pengolahan di PLTSa, atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Dengan membakar sampah pada suhu tertentu akan dihasilkan panas yang dapat mengubah air menjadi uap. Uap tersebut kemudian dapat memutar turbin sehingga dapat terjadi konversi energi menjadi energi listrik. Salah satu PLTSa yang telah beroperasi adalah PLTSa Bantar Gebang yang selesai dibangun pada 2019. Saat ini PLTSa Bantar Gebang mampu memiliki kapasitas pengolahan sampah hingga 100 ton/hari dan menghasilkan 750kWh listrik. Listrik ini kemudian digunakan untuk menyuplai kebutuhan daya pada fasilitas PLTSa itu sendiri. Sisa abu pembakaran sampah dapat dimanfaatkan untuk membuat paving block yang dapat digunakan oleh PLTSa ataupun warga sekitar yang membutuhkan.
Sekilas kita lihat PLTSa ini sungguh bermanfaat dalam menanggulangi membludaknya jumlah sampah yang masuk ke TPA. Jadi, apa masalahnya?
Masalahnya adalah pada karakteristik sampah Indonesia itu sendiri. Agar dapat terbakar dengan baik dan menghasilkan panas yang cukup tinggi tentu sampah yang mudah terbakar akan lebih baik dibandingkan sampah yang basah, bukan? Masalahnya karakteristik sampah Indonesia adalah kebalikan dari kondisi sampah yang ideal untuk dibakar. Sampah makanan merupakan komponen terbesar yang pada komposisi sampah di Indonesia yang besarnya hampir 40% dari total. Besarnya porsi sampah makanan menyebabkan kandungan air pada sampah menjadi tinggi dan menurunkan nilai kalor yang merupakan indikator seberapa baik suatu bahan bakar dapat digunakan untuk pembakaran. Pada saat sampah tidak dapat terbakar dengan sempurna, maka diperlukan bahan bakar tambahan untuk membantu proses pembakaran. Hal ini tentu saja kurang efisien.
Tentu hal ini dapat ditanggulangi dengan pemilahan sampah sehingga dapat dipisahkan komponen yang mudah terbakar dengan komponen yang tidak mudah terbakar. Akan tetapi, jika hal ini dilakukan setelah terjadinya pencampuran segala jenis sampah tentu menjadi kurang efektif. Pemisahan paling efektif dilakukan pada sumbernya, tapi hal ini harus didukung oleh pihak pengelola sampah yang mengangkut sampah tersebut. Argumen yang sering terdengar adalah Masyarakat merasa pemilahan sampah merupakan hal yang sia-sia karena pada akhirnya sampah yang telah dipilah akan dicampuradukkan ketika diangkut. Kita juga tampaknya terlalu bergantung pada sektor informal untuk memilah sampah dari sampah yang masih dapat didaur ulang dan yang tidak dapat didaur ulang sehingga pemilahan sampah menjadi hal yang kurang lumrah. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan hal yang sangat disayangkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan selain pemilahan adalah fasilitas untuk mengangkut dan menampung sampah sementara (TPS) sebelum diangkut ke TPA. Tidak semua fasilitas TPS memiliki atap untuk melindungi tumpukan sampah dari hujan. Belum lagi truk sampah yang mengangkut sampah dari rumah-rumah ataupun dari TPS ke TPA merupakan truk terbuka. Kadangkala truk sampah ini menggunakan terpal sebagai penutup selain sebagai pelindung tapi juga sebagai penahan sampah agar tidak tercecer. Pada musim kemarau hal ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun, jika hujan turun dan membasahi tumpukan sampah, maka semakin tidak ideal kondisi sampah kita untuk dapat digunakan di PLTSa.
Terakhir, tentu saja dukungan pemerintah untuk dapat menginvestasikan pembangunan PLTSa ini sehingga semakin besar area yang dapat terakomodasi pengelolaan sampahnya. Kebijakan yang mengatur mengenai sistem pemilahan sampah, pengangkutan, retribusi juga perlu diperhatikan. Rendahnya retribusi sampah yang didapat dari masyarakat sangat membebani APBD dalam pelaksanaan pengelolaan sampah. Namun, bukan berarti retribusi dapat dinaikkan begitu saja. Rendahnya kesediaan masyarakat untuk membayar retribusi diakibatkan oleh pelayanan pengelolaan sampah yang kurang memuaskan, walaupun masyarakat sebenarnya memiliki kemampuan membayar retribusi yang lebih tinggi dari yang sekarang (Susanto dan Rahardyan, 2016).
Alangkah baiknya jika pelaksanaan pengolahan sampah melalui PLTSa dapat didukung baik oleh Masyarakat, pemerintah dan dinas terkait secara bersama-sama baik dalam pelaksanaan di lapangan maupun dalam bentuk kebijakan dan peraturan sehingga kondisi "darurat sampah" ini dapat segera pulih dan tidak terulang kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H