Lihat ke Halaman Asli

Ali Eff Laman

Penulis Lepas Bebas

Kisahku di Stasiun Terakhir

Diperbarui: 29 November 2023   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi.Ali

KISAHKU DI STASIUN TERAKHIR

Dalam pagi yang hening itu, ketenangan terasa seperti lapisan tipis yang menyembunyikan gelombang peristiwa tak terduga yang terus berulang. Aku, terperangkap dalam kerumitan pekerjaan dan rutinitas harian, tidak menyadari  ada getaran halus yang merayap masuk. Tubuhku yang lelah dan pikiranku yang terperangkap dalam urusan sehari-hari serta masalah kompleks membuat kekuatanku perlahan terkikis. Aku terbenam begitu dalam pada diri sendiri sehingga tak lagi memperhatikan perhatian orang di sekitarku.

Sudah seminggu ini, aku berjuang melawan sakit yang merayap dalam tubuhku. Meskipun badanku meminta istirahat, tanggung jawab di kantor membuatku tetap nekat untuk pergi bekerja. Kondisiku yang semakin melemah memaksa istriku untuk mengantarku ke kantor yang memang se-arah dengan kantornya. Dengan tatapan khawatir, dia mengendarai mobil, dan aku terbaring di kursi belakang, tersesat dalam dunia pikiranku yang sebenarnya lebih jauh dari sesuatu yang dikhawatirkannya.

Perjalanan menuju kantor disepanjang kesunyian jalan tol di pagi hari yang akhirnya terpecahkan oleh suara pelan istriku. "Ikutlah ke pulau bersamaku. Aku punya tugas di sana, dan kamu bisa istirahat sambil aku menyelesaikan pekerjaanku. Ambillah cuti saja beberapa hari," katanya dengan semangat menghibur, seolah-olah masalah yang dihadapinya nya jauh lebih ringan. Meski aku menyadari bahwa masalahnya sama beratnya dengan yang kurasakan, dan semangatnya ini yang menjadi alasan bagiku untuk terus bersamanya.
Namun, terikat pada tanggung jawab kantorku, aku menolak tawaran tersebut. Ditengah perjalanan, aku memutuskan untuk melanjutkan dengan kendaraan ojek. Meminjam ponsel istriku, aku memesan ojek online karena lupa membawa ponsel pribadiku tertinggal tadi pagi sewaktu berangkat. Aku terus melaju menuju kantor, tetap berusaha menjalani hari seperti biasa.

Namun begitu tiba di kantor, kepala ini terasa berat dan mataku mulai perih. Konsentrasi kerja kembali terusik, teringat kisah tadi, kisah kemarin dan kemarinnya lagi . Aku memutuskan untuk menghubungi pimpinanku dan meminta izin cuti. Dengan persetujuannya, aku meninggalkan ruang kerja dan keluar dari kantor, melewati pos keamanan yang sepi.
Aku berjalan menuju stasiun Tanah Abang yang tidak terlalu jauh dari kantor dengan langkah yang terpaksa tanpa tujuan yang jelas. Pandanganku agak kabur, dan aku berhasil sampai di stasiun yang terlihat mulai sepi. Setelah membeli tiket, aku menuju peron 6 gerbong 4 memilih tempat duduk paling pojok di kursi biru yang kosong dan mencoba menenangkan diri dan melamun. Kereta berjalan, tak tahu kapan dan di stasiun mana aku akan berhenti. Sesekali terbersit pikiran gelap di setiap stasiun kereta. Cara paling mudah untuk menyudahi masalah, semudah menjatuhkan kapas ke tanah, lambat tapi pasti.

Bunyi sirene kereta mengagetkanku, mengingatkanku untuk keluar dari kereta di stasiun perhentian terakhir ini. Aku berjalan tanpa tujuan pasti, menyusuri kehidupan yang sibuk di luar sana berharap menemukan kesadaran bahwa hidup mereka lebih berat dari yang kualami.

Aku melihat orang hilir mudik begitu banyaknya, berjalan cepat susul susulan entah kemana tujuan, bersenggolan tanpa saling sapa. Begitulah kehidupan, setiap orang dengan urusannya sendiri, tak peduli dengan yang lain. Sebenernya itu ada baiknya juga, daripada saling peduli, dimulai dengan saling berbagi cerita, berharap masalah menjadi lebih ringan alih alih makin ringan teman bicara jadi punya bahan untuk diobrolkan dengan orang lain dan itu menjadi cara penerbitan riwayat hidup kita dengan cara yang kurang menyenangkan.

Sekarang, aku makin merasa begitu dekat dengan keheningan waktu. Safari dari masjid ke masjid, dari pasar ke pasar, tanpa alat komunikasi, kartu identitas, atau dompet. Hanya sebuah tas ransel, GPD mini, smart tablet, dan kartu kereta yang menemaniku. Mengelana waktu hingga terus berlalu hingga kelam malam tiba.
Ini bukanlah pengembaraan pertamaku. Sejak musim buah simalakama,  jika istriku bertugas di Pulau Seribu, aku tak pulang ke rumah merupakan sebuah ritual yang difahami bersama . Rumah yang cahayanya meredup jika tanpa istriku, buah hati, bocah kecilku pun tak cukup mampu menerangi rumah dengan keceriaannya yang kerap kali redup dengan sumber ketakutan yang sama. Adanya mbak pengasuhnya di rumah membuat pilihan tega dengan sedikit rasa aman meninggalkannya.

Aku  menjelajah tempat-tempat tak dikenal. Biasanya, waktu ini saatku mencari inspirasi, bahan tulisan, atau sekadar memperkaya pengetahuan dengan menjalani kehidupan sederhana di tempat-tempat baru dimana banyak orang tak peduli siapa aku.
Namun, malam ini adalah perjalanan tanpa rencana. Pukul 16.30 tadi sore saatnya pulang kerja bagi pegawai pemerintah, karena aku belum pulang istriku mengira aku masih di kantor. Kepanikannya mendorongnya untuk menghubungi teman kantorku. Mereka menemukan dompetku dan ponsel di meja kantorku, disinilah mulai kegelisahan.

Ketidaknyamanan merebak, dan kabar kehilanganku menyebar di berbagai grup WhatsApp. Spekulasi bermunculan, dihiasi dengan cerita kesalahan-kesalahan kecilku. Sementara itu, di dimensi lain, aku merasa mengobati diri tanpa merasa bersalah.
Dalam kegelapan malam, saat aku berbaring dengan tas sebagai alas, ada getaran dari dalam tas. Tabletku bereaksi terhadap tekanan. Aku menyalakannya dan terhubung ke layanan Wi-Fi di stasiun kereta. Terperanjat, aku baru menyadari bahwa seantero kerabat Jakarta tengah mencariku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline