Pendidikan sangatlah penting bagi seluruh insan kehidupan melalui pendidikanlah kehidupan seorang kedepan ditentukan. Majunya sebuah negeri didasari dengan masyarakat yang pintar dan sehat, tetapi amatlah disayangkan masih banyak daerah-daerah tertinggal yang belum merasakan kehadiran sekolah yang layak, ditambah lagi kurangnya guru berkualitas dalam mengajar di sekolah.
Guru Lukman bercerita dalam facebooknya, "Kami tidak punya gedung sekolah, yang kami gunakan untuk belajar mengajar adalah balai kampung (balai desa). Awal saya datang kondisinya sangat sangat sangat memperihatinkan, atap rusak parah, bangku banyak yang rusak, papan tulis rusak terbelah jadi dua. Dengan kedatangan saya dan rekan (Kanisius Usfinit), masyarakat berbondong-bondong gotong-royong memperbaiki semuanya termasuk atap yang rusak jadi rapi (tidak bolong-bolong), tapi di tengah-tengah atapnya masih terbuka jadi kalau hujan saya bisa minum langsung air yang menetes dari langit. Mumpung hujan saya pun ikut menangis, supaya tidak kelihatan menangis. Hehehe"
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Mappi yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) fokus kepada pendidikan dengan mengirimkan guru-guru strata 1 jurusan keguruan, salah satunya adalah Lukman Karsito, Lukman adalah guru lulusan Universitas Pancasakti Tegal tahun 2017, jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan tinggal di Desa Pedeslohor, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah.
Walaupun guru mata pelajaran, akan tetapi ia mau mengajar dan melayani anak-anak Sekolah Dasar Negeri Amajaman, Kampung Masin, Distrik Obaa, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Tidaklah mudah mengajar di Pedalaman Papua, faktor bahasa dan daya tangkap anak yang lemah membuat guru harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menjelaskan pelajaran yang di ajarkan.
"Cangkul berbunyi ku cangkul ilmu, sebelum masuk ke kelas kami biasakan mereka untuk berbaris, yel-yel, berdoa dan menyalami Guru dengan mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan kepada orangtua supaya mereka terbiasa sebelum berangkat dan setelah pulang dari sekolah selalu berpamitan dengan orang tuanya.
Ruang kelas kami seperti ini, lantainya berdebu. Karena memang lantainya masih tanah, berangkatnya bersih pulangnya kotor, sepatu dan celana penuh dengan debu. Kalau anak-anakku yaa pasti lebih parah sudah tidak pakai sandal / sepatu, dari kaki sampai celana mereka itu pasti penuh dengan debu.
Yang lebih miris itu ketika buku jatuh ke lantai, buku yang warna putih langsung menjadi coklat. Apalagi ketika tangan mereka kotor kena debu langsung lap ke seragam putih, huftttt (saya sih tidak pernah marah, malah saya selalu senyum sambil berbisik "jangan lap di baju, bersihkan di kamar mandi sa").
Seragam mereka sudah lusuh ditambah suka lap sembarang, ya sudah beginilah jadinya. Oh ya, mereka yang tidak pakai seragam itu memang karena mereka tidak punya, yang punya seragam pun berhari-hari mereka pakai lalu dicuci ketika hari minggu saat sekolah libur.
Melihat mereka saya selalu menangis dalam hati, seragamnya lusuh, kucel, robek, penuh dengan jahitan. Tapi jangan liat seragamnya, tapi lihatlah semangatnya. Semangat untuk mencangkul ilmu yang harus kita apresiasi, datang dengan kondisi lapar, datang dengan seragam kucel dan lusuh, datang dengan senyuman manis dan mereka berkata "selamat pagi Pak Guruuuu".
Di situlah hatiku merasa gembira dan senang, disitulah letak kebahagiaanku. Dari senyuman dan langkah kaki mereka membuatku menjadi semangat untuk berbagi ilmu". Imbuhnya di laman facebooknya.
Tidak hanya pendidikan yang berkualitas, kegiatan belajar mengajar juga diimbangi dengan gizi dan penanaman nilai karakter yang baik. Diharapkan anak-anak di pedalaman dapat meningkat dalam kecerdasan dan mengembangkan potensi diri mereka menjadi generasi yang lebih baik, yang akan memajukan bangsa Indonesia, khususnya daerah-daerah dimana mereka berasal.