Lihat ke Halaman Asli

Menilik Kehidupan Anak di Pemukiman Pinggiran Rel Kereta Api di Kota Medan

Diperbarui: 11 Juni 2016   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto bersama anak-anak tamil di Jalan Mangkubumi

Semalam tepatnya tanggal 10 Juni 2016 saya beserta 4 orang teman kuliah pergi berkunjung ke posko anak-anak yang orang tuanya tinggal di pinggiran rel kereta api. Yayasan itu diberi nama Yayasan Dian Bersinar Foundation. 

Yayasan ini berdiri diawali oleh kepedulian 2 orang alumni terhadap kehidupan “anak-anak rel” yang memprihatinkan itu. Dengan kondisi tempat tinggal di pinggiran rel kereta api tentunya akan ada penggusuran pada waktu-waktu tertentu. Keminiman finansial menjadi akar permasalahan di tempat tersebut. Bagaimana tidak, para orang tua disana bekerja sebagai sebagai pemulung saja.

Lebih kurang 90 menit kami berbincang-bincang dengan seorang pendiri yayasan itu yaitu kak Febri Gultom, kami semakin paham bagaimana kehidupan anak-anak disana. Mendengarkan alur ceritanya mengenai anak-anak itu, rasanya ingin juga terjun disana bersama-sama dengan mereka mengajari anak-anak itu. 

Sebelumnya di posko itu ada sekitar 30 anak namun karena bulan januari lalu ada penggusuran, kini hanya 12 orang anak yang tinggal di sana. Adapun tingkat pendidikan mereka adalah 2 orang SD, 6 orang SMP dan 4 orang SMA. Oleh karena bebasnya hidup di pinggiran rel kereta api itu sangat mempengaruhi karakter anak-anak. Mereka telah terbiasa dengan kekerasan, narkoba, dan kata-kata yang tidak layak untuk diucapkan.  Jadi dari keterangan kak Febri, di Yayasan itu anak-anak bukan hanya dibekali pendidikan kognitif saja namun juga lebih kepada pendidikan karakternya.

Selain di posko ini, mereka juga mengajari anak-anak “tamil” yang tinggal di sebuah pemukiman di tengah kota tepatnya di jalan mangkubumi. Oleh karena rasa penasaran kami, kami pun langsung mengunjungi anak-anak yang ada di sana. Dengan menempuh perjalanan naik sepeda motor sekitar 30 menit, kami pun sampai di pemukiman itu. 

Sekilas melihat dari jalan raya tempat kami memarkirkan sepeda motor sepertinya tidak ada kehidupan disana. Tiba-tiba 2 orang bapak (berkulit hitam) keluar dari jalan setapak itu. Kami pun yakin bahwasanya disanalah tempat anak-anak itu. Kami masuk lewat jalan setapak itu. Wah..jadi teringat waktu di Papua dulu saat pertama sekali bertemu dengan orang-orang berkulit hitam. Sekita 10 meter kami masuk, kami telah menyaksikan keramaian di pemukiman itu. Berbagai kegiatan ada disana.

Anak-anak dengan asyiknya bermain lompat-lompatan, bapak-bapak membentuk lingkaran dilengkapi dengan uang 50 ribuan dan 100 ribuan disertai dengan kartu-kartu, sementara ibu-ibu berjualan mie dan bakwan ditengah keramaian itu. Belum lagi kami sampai tepat dihadapan mereka, mereka telah rebut dengan bahasa “tamil” mereka. 

Mereka takut. Mereka mengira bahwa kami adalah bagian dari pengamanan. Sebab sebelumnya, pihak keamanan sering datang ke tempat itu oleh karena kasus perjudian bahkan kasus narkotika. Namun kami langsung mengajak mereka berbincang-bincang dan mengatakan bahwa kami berencana akan turut mengajar anak-anak itu. Dengan demikian mereka sedikit lebih “welcome” akan kedatangan kami.

Pemukiman ini juga merupakan tanah garapan yang sewaktu-waktu bisa digusur. Hampir sama di tempat pertama yang saya ceritakan tadi. Karakter anak-anak disini juga sangat tercemari oleh karena lingkungan yang telah rusak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline