Lihat ke Halaman Asli

Ibu, Peluh, dan Ladang

Diperbarui: 18 Mei 2016   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awaluddintahir.wordpress.com

“Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa”

“Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”

Saya berasal dari satu desa yang berjarak 4 Km dari ibukota Kecamatan. Tanah kelahiranku itu adalah Desa Manjangkir Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa identik dengan ladang dan sawah bukan? Nah, itulah yang menjadi tempat ayah dan ibuku bercocok tanam untuk memenuhi kelangsungan hidup kami sejak dahulu sampai sekarang. Pergi dini hari (pukul 06.00 WIB) dan pulang petang hari (18.00 WIB). Perjuangan yang luar biasa. Dengan lahan yang tidak seberapa namun dengan ketekunan super Ibu dan Ayah, aku dan keempat saudaraku bisa menyelesaikan pendidikan kami.

Empat tahun yang lalu Tuhan mengizinkan Bapak untuk pergi selamanya meninggalkan kami. Duka yang luar biasa yang kami rasakan. Ibu yang biasanya mempunyai teman sharing, teman bekerja di ladang atau sawah, kini sudah tiada. Sebulan, dua bulan bahkan setahun, keluarga masih sangat dilingkupi duka yang tidak teralakkan. Apalagi Ibu yang hanya sendirian di rumah. Sebab 3 orang kakakku sudah pada berumah tangga sedangkan adikku saat itu telah melanjutkan kembali pendidikannya. Namun seiring berjalannya waktu, semuanya mulai pulih kembali. Semangat Ibu yang dulu melayang entah kemana, saat itu kembali secara perlahan.

Tenaganya yang dulu sungguh tak berkurang sedikitpun. Jika di dalam satu hari (kecuali hari minggu) ibu tidak pergi ke ladang, dia akan katakan bahwa ada sesuatu yang kurang pas. Hehehe…beginilah Ibu. Bekerja di ladang  itu seolah menjadi pekerjaan yang menyenangkan. Padahal di ladang itu sepi. Barangkali tanaman-tanaman peninggalan bapak yang membuat ibu semakin semangat bekerja. Ada kopi bahkan pohon-pohon jati, durian, aren, nangka, merica, dll yang tinanam Bapak semasa hidupnya. Orang-orang di kampung juga sering memuji Bapak karena ketekunannya bekerja. Selain ketekunan Bapak, beliau juga bisa kreatif membuat kompos sendiri yang berkualitas. Hmmm…yang pasti mereka berdua “Wonder Parent ” bagiku.

Dengan kondisi ekonomi yang terkadang sangat minim, Ibu pun berusaha untuk membersihkan ladang dengan cepat. Dengan demikian Ibu bisa bekerja di ladang saudara di kampung sebagai tambahan uang kuliah atau uang saku adik.

Setahun kemudian, aku pun menyelesaikan pendidikanku dari perguruan tinggi dan tibalahn saatnya bekerja. Dengan penghasilan sendiri, akhirnya aku bisa menggantikan peluh ibu untuk membiayai perkuliahan adikku. Kusadari semua itu adalah berkat Tuhan dalam keluarga kami. Ada suka, ada duka. Dinamika kehidupan yang tiada pernah berhenti. Dan kini ibu sudah tidak bisa sekuat yang dulu untuk bekerja karena tubuh sudah mulai menua dan sering sakit. Dengan kondisi badannya yang kurang fit dari hari ke sehari, membuat emosinya menjadi labil. Memahaminya dan menunjukkan kasih adalah keputusan terbaik untuk Ibu. Tetaplah menjadi yang terbaik Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline