Maaf baru diposting sekarang.
Setelah anak-anak selesai mengerjakan soal ulangan semester genap, anak-anak sudah berhamburan dari kelas. Jangankan setelah pulang sekolah, sebelum masuk kelas saja tadi pagi mereka sudah pada ganti seragam sekolah lalu menyimpannya di dalam noken. Mereka katakan bahwa mereka akan pulang berhubung ada acara bakar batu di kantor kepala Desa. Acara bakar batu dalam rangka syukuran atas pelantikan Kepala Desa Gurika. Desa, dimana saya dan kedua teman saya ditugaskan. Untung saja, saya keluar dari rumah. Kalau tidak mereka pasti sudah pergi begitu saja.
Beginilah kondisi anak-anak di daerah ini. Banyak hal yang menyebabkan mereka tidak hadir ke sekolah. Salah satunya adalah ketika ada acara bakar batu dalam acara tertentu. Acara bakar batu ini merupakan sebuah kebudayaan unik yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Acara bakar batu ini biasanya dalam acara pernikahan, meninggal, ulang tahun, dan bahkan acara pemberangkatan anak-anak yang akan mengikuti UN (Ujian Nasional). Namun, kali ini bakar batu dalam acara syukuran atas pelantikan Kepala Desa Gurika.
Kami juga tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan moment yang penting ini. hanya di Papua saja bisa menemukan acara yang begini. Sepulang sekolah kami mengoreksi nilai ulangan anak-anak dan langsung memasukkan ke dalam daftar nilai. Kelar semua, kita langsung berangkat ke Kantor Kepala Desa yang berjarak 200 meter dari rumah. Untuk sampai di sana, kita mesti menyeberangi Kali Tiom dulu. Dari kejauhan kita sudah melihat asap yang mengepul di tempat diadakannya bakar batu tersebut. Para masyarakat telah hadir semua di tempat itu. Bagi mereka, acara begini merupakan sebuah pesta bagi mereka. jadi, satu pun takkan ada yang ketinggalan.
Setelah menempuh perjalanan selama 10 menit, kami pun sampai di Kantor Kepala Desa. Kami langsung disambut hangat oleh mereka. Memang beginilah guru di daerah ini. Begitu disanjung dan dihormati. Kemanapun kita melangkah, atribut guru tetap dan terus melekat. Mulai dari anak-anak kecil, pemuda, bapak-bapak, mama-mama, maupun teteh dan nenek-nenek setiap kali bertemu, pasti selalu menyapa dengan sebutan ibu guru. Mereka langsung menawarkan kita duduk dengan beralaskan noken buatan mereka. Sebab mereka tidak mau jika kita duduk langsung ke tanah. Padahal kan, kita juga bakalan segan kalau kita saja yang duduk beralaskan noken dan mereka tidak.
Saya hanya bisa tertawa saja dan katakan “akh mama...kita su biasa toh duduk di tanah begini. Tidak apa-apa, kita sama-sama duduk di tanah sudah”. Kami pun duduk dan bercerita dengan mereka sembari menunggu wam (babi), ubi, bermacam sayur yang sedang dimasak dengan masakan bakar batu. Dari atas gunung bahkan dari lembah, masih saja berdatangan para masyarakat. Wah, rame sekali. Padahal jika diperhatikan sekilas, hanya sedikit saya honai yang berjejer di kampung Gurika ini. Kekeluargaan ini memang sangat kental sekali.
Menunggu kira-kira 1 jam, akhirnya masakan bakar batu pun sudah matang. Kepala Desa mengarahakan semua masyarakat untuk mengambil tempat mengelilingi kolam bakar batu dengan tujuan supaya pembagian makanan bisa lebih mudah. Sedangkan seksi konsumsi yaitu para mama telah stand by untuk mengambil makanan dari kolam bakar batu dan para bapak sudah bersiap untuk mengantar makanan pada kelompok-kelompok yang ada. Hmmm....memang benar-benar praktis sekali.
Kalau kita di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, memerlukan banyak peralatan memasak jika sudah ada acara besar begitu. Dan juga memerlukan waktu dan tenaga yang banyak. Namun di tempat ini tidak. Tidak ada peralatan masak apapun. Hanya saja, butuh kayu, batu, dedaunan dari hutan. Pembagiannya pun tidak repot. Makanan-makanan yang telah matang, dibagikan begitu saja. Namun, jika dilihat dari kebersihan memang sangat kuranglah.
Makanan itu hanya beralasakan rumput yang ada yang di depan kita. Pembagian makanan itu, asal dilempar saja di depan kelompok-kelompok yang telah dibentuk. Pertama sekali menyaksikan acara begini, aku juga kaget. Si pembagi makanan, berlari-lari membagi makanan dan asal kasih letak saja. Ketika kami menanyakan hal tersebut, mereka katakan bahwa memang begitulah budaya di sini. J inilah memang keunikan di daerah ini.
Kali ini, kami duduk membentuk kelompok makan dengan anak-anak kami di SD YPPGI NOKAPAKA. Kami ada 8 orang. Pertama sekali kami diberikan sayuran yang bermacam-macam. Ini adalah makanan lezat bagi mereka.
Mereka pun memilah-milah sayur itu supaya kami bisa makan. Kemudian, diberikan lagi ubi rambat. Wah, enak sekali. Ternyata ubi yang dimasak dengan bakar batu, rasanya lebih manis daripada ubi yang direbus begitu saja. Tadi tidak sempat makan dari rumah. Jadinya, makan di acara bakar batu begitu lahap sekali. Padahal biasanya tidak pernah begini. Dan hidangan yang terakhir yang dibagikan adalah daging wam (wam adalah bahasa lani yang artinya babi).