Anak-anak Papua. Foto: Fronika Simarmata
Seekor anak tupai memerlukan waktu untuk bisa melompat secara mahir dari satu pohon ke pohon yang lain sama seperti induknya. Melompat untuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga dapat melangsungkan hidup secara utuh.
Seorang dewasa tidak akan ada tanpa seorang anak. Dewasa yang dimaksud pun bukan sekedar dewasa secara usia, namun dewasa dalam pola pikir. Untuk menjadi dewasa dalam pola pikir membutuhkan waktu sebagaimana analog di atas. Perkembangan otak anak akan bertambah tahap demi tahap dari jenjang pendidikan yang didapatkannya, baik secara formal maupun informal. Tanpa sebuah proses pendidikan, mustahil perkembangan otaknya berkembang secara sempurna.
Papua merupakan pulau terbesar di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lipatan-lipatan gunung yang menjulang tinggi. Tanah yang kaya, tanah yang bagaikan surga kecil yang turun ke bumi. Itulah julukan yang cocok untuk Papua dikarenakan sumber daya alam yang banyak terkandung di dalamnya. Tapi sayang, hasilnya tidak seperti yang kita harapkan. Kita menjadi seolah hanya terdiam dan mengisap jempol ketika melihat MEREKA menikmati apa yang mereka bisa nikmati. Sebab tidak tahu apa yang harus kita perbuat. Apa yang kurang di Indonesiaku??
Sebuah daerah tidak akan berkembang jika struktur masyarakat yang di dalamnya tidak mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran baru untuk menghasilkan penemuan baru yang mempermudah mereka dalam mencukupi kebutuhan. Baik itu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Inilah kenyataan yang terlihat di Kabupaten Lanny jaya, Provinsi Papua. Pemenuhan kebutuhan primer saja seolah sudah cukup bagi mereka. Ketertinggalan menjadi bagian mereka sampai saat ini. Mungkin saja, hati kecil mereka juga ingin bebas dari ketertinggalan ini, dan ingin merasakan sebuah kehidupan yang layak seperti yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Indonesia bagian timur sana.
Sudah merupakan sebuah keharusan bagi seorang siswa yang mengenakan seragam sekolah, sepatu, tas, dan peralatan-peralatan belajar. Namun tidak bagi siswa di Lanny Jaya terkhusus bagi siswa di SD YPPGI NOKAPAKA Distrik Tiom. Mereka datang dengan pakaian rumah yang sudah beberapa hari dipakai, tidak beralaskan kaki, dan hanya 50% yang membawa buku dan alat tulis. Terkadang, mereka sampai di sekolah dengan kaki yang berlumpur dan baju yang rok atau celana yang sudah basah karena 70 % dari mereka tinggal di puncak gunung dan di tengah hutan yang jaraknya ± 3 Km dari sekolah. Bukan hanya itu, makanan sehari-hari mereka hanyalah ubi rambat bakar dan kadang ubi rambat rebus.
Ini bukan hanya kata-kata hampa. Ini berbicara tentang mereka yang membutuhkan sebuah “pendidikan”. Pendidikanlah yang menjadi jawaban sederhana dari kenyataan itu. Siapa yang harus dididik? Tentunya anak yang tidak bisa dipungkiri akan menjadi generasi emas dibeberapa tahun mendatang. Pendidikanlah yang mampu mengubah seorang anak menjadi seorang dewasa di dalam pola pikir. Siapakah komponen pendidikan itu? Jawabannya adalah pendidik (guru).
Guru yang bukan hanya sekedar seseorang yang mengemban profesi seorang guru. Namun guru yang benar-benar guru, artinya guru yang mampu menganggap bahwa anak-anak Papua adalah 100% adalah bagiannya. Seseorang yang merasakan keterbebanan yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Jika sudah demikian, maka seorang guru tersebut akan mengkontribusikan semua potensi dirinya untuk mendidik dengan sepenuh hati dan berharap sebuah pembaharuan bagi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H