Lihat ke Halaman Asli

Bersikap Bijak dalam Mengelola Perbedaan

Diperbarui: 1 Agustus 2018   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dok. pribadi)

Oleh : Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta'lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya)

Para sahabat Rasulullah punya latarbelakang ras yang berbeda-beda. Sangat plural dan multkultural. Ada Bilal yang dari Afrika, ada Salman yang berasal dari Persia, dan ada juga Suhaib bin Sinan yang berasal dari Romawi (Byzantium), dan tentu saja dari berbagai suku Arab. Demikian pula latarbelakang kehidupan dan pekerjaannya.

Bahkan, untuk mempererat ukhuwah Islamiyah, Rasulullah mempersaudarakan kaum muhajirin (imigran) dan kaum Anshar (muslim pribumi). Abdurrahman bin Auf yang berhijrah dari Makkah dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi al-Anshari, Umar bin Khattab dengan 'Itban bin Malik, Abu Bakar Asshiddiq dengan Kharijah bin Zaid, dan sebagainya. Tak hanya itu, beliau juga memiliki istri dengan berbagai latarbelakang yang berbeda.

Dengan caranya yang khas dan pantas diteladani, Rasulullah berhasil menenun perbedaan dengan indah. Beliau sadar apabila perbedaan adalah sebuah fitrah. Oleh karena itu penting kiranya mencari titik temu, bukan titik tengkar atas perbedaan tersebut. Fanatisme kesukuan ditekan, kebanggaan rasial dihilangkan, dan superioritas marga dihapus.

Oleh karena itu, ketika mendengar sahabat Abi Dzar al-Ghifari "kesleo lidah" mengejek sahabat Bilal bin Rabah dengan ucapan rasis, saat itu pula Rasulullah marah. Meskipun sudah dimaafkan oleh Bilal, namun Abi Dzar senantiasa menyesali peristiwa ini sepanjang hayat beliau.

Dalam peristiwa lain, Rasulullah juga menghormati perbedan pendapat di antara para sahabat. Misalnya ketika para sahabat berangkat dalam ekspedisi ke perkampungan Bani Quraidzah. Sebelum berangkat, Rasulullah berpesan agar shalat ketika sampai tujuan. Ketika pasukan berada di tengah perjalanan, terdapat perbedaan.

Sebagian kelompok memilih shalat ashar pada saat itu juga. Sedangkan para sahabat lainnya memegang teguh amanah Rasulullah agar shalat ketika sampai tujuan. Di kemudian hari, ketika peristiwa ini disampaikan kepada Sang Insan Kamil, beliau mendiamkan, tanda menghormati perbedaan pendapat di kalangan sahabatnya.

Dengan bercermin pada beberapa peristiwa di atas, kita bisa menilai apabila perbedaan adalah sesuatu yang natural namun butuh pengelolaan yang baik, figur pemersatu yang bisa dipercaya, dan alat pemersatu yang efektif.

Dalam konteks kebangsaan, kita bersyukur bahwa hingga saat ini kita bisa menyikapi perbedaan dengan bijak. Meskipun beberapa kali terjadi pergesekan berdarah akibat perbedaan rasial dan agama, seperti kasus Sampit dan Ambon, namun hal ini menjadi pelajaran buruk agar tidak terulang lagi di masa mendatang.

Dengan komposisi 230 juta penduduk, yang ditunjang dengan kekayaan 17.504 pulau, ratusan etnis, dengan ratusan bahasa daerah, Indonesia bisa dibilang "rawan pecah". Namun, hingga saat ini Pancasila masih tetap relevan menjadi alat pemersatu dan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa persatuan yang efektif.

Jika anda menonton Chennai Express yang dibintangi Shah Rukh Khan, anda bisa melihat negara sebesar India ternyata belum memiliki bahasa persatuan. Bahasa Hindi memang ada. Tapi ini hanya menjadi bahasa dominan di India Utara, bukan di kawasan selatan yang menggunakan bahasa Tamil dan Malayalam. Bahasa Inggris juga ada. Tapi itu adalah bahasa akademis dan administratif di sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline