Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Penyelenggara Negara

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Efriza, Penulis buku STUDI PARLEMEN Sejarah, Konsep dan Lanskap Politik Indonesia

Perpolitikan saat Pilpres selalu diwarnai oleh para pemangku jabatan yang menunjukan pemihakan atas salah satu pasangan calon tertentu. Kondisi ini menyebabkan terjadinya pengabaian atas ranah publik dan peningkatan atas kepentingan pragmatis individu.

Tidak lagi janggal ketika kita melihat menteri-menteri berkampanye untuk pasangan calon presiden sementara hal terpenting mengurusi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat dipinggirkan untuk kepentingan pragmatisnya. Begitu pula Ketua DPR berkampanye untuk pasangan calon sementara ada kebutuhan prioritas yakni pemenuhan regulasi untuk mengatur kehidupan masyarakat amat mungkin tersisihkan oleh kepentingan pragmatis dirinya.

Hal-hal ini memang terjadi di Indonesia, karena kepentingan pragmatis selalu mewarnai dari proses di awal. Seperti terbangunnya sebuah koalisi di Pilpres dengan mekanisme bagi-bagi jatah kursi menteri. Ini tidak bisa dilepaskan dari skema penyelenggaraan pemilu yang didahului pemilu legislatif yang berdampak pada inkonsistensi tak berkesudahan dalam praktik presidensialisme di Indonesia. Persoalan yang tak kalah menyakitkan adalah mereka bekerja atas nama partai, golongannya, dan bukan sebagai penyelenggara negara yang mengedepankan kepentingan umum.

Oleh karena itu tidak heran ketika saat ini sorotan tajam tertuju kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden yang menjalani kepala pemerintahan dan kepala negara dalam sistem presidensiil kita, dikhawatirkan sebagai akan mengerahkan perangkat negara untuk berpihak pada salah satu pasangan calon. Hal ini juga tak bisa dilepaskan dari posisi SBY selain sebagai Presiden juga masih memegang jabatan (yaitu Ketua Umum sekaligus Ketua Majelis Tinggi) di Partai Demokrat.

Sudah semestinya ke depan, sebagai penyelenggara negara kita menanggalkan jabatan di kepartaian. Partai hanya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan. Ketika telah mengemban amanah rakyat dalam pemerintahan maka kepentingan rakyat yang perlu diperhatikan bukan lagi kepentingan golongan atau partainya maupun sikap pragmatisme individualistisnya. Jika hal ini dilakukan tidak ada lagi “kekosongan” pemerintahan setiap menjelang pemilu atau terabaikannya persoalan masyarakat berganti dengan hinggar-binggar pemilu, dan tidak adanya kekhawatiran bahwa para penyelenggara negara lebih mengedepankan kepentingan golongan maupun pragmatis dirinya kemudian mengabaikan kepentingan umum, bahkan kekhawatiran para pemangku jabatan pemerintah bertindak tidak demokratis dalam penyelenggaraan pemilu dengan menggunakan pengaruhnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline