Malam ini.
Aku terduduk di beranda sebuah kenangan. Menyaksikan seseorang bersiul pada angin yang enggan turun menyapa
Menyapu setiap debu dari sebuah tempat dimana empat kaki pernah berdekatan membunuh jarak dan waktu, Meninggikan harapan pada sebuah genggaman yang selamanya akan sampai pada kematian.
Aku mungkin akan jatuh pada jalan tanpa lubang ketika rindu itu terlalu lengah untuk bersenggama dengan menit yang paling sempit.
Juga dirimu, serta kepul teh di saat malam,
Barangkali kita perlu sesekali mengungkap masa lalu , sebab luka selalu punya cara untuk pulang pada setiap pelaku.
Bahkan jika itu gelap bagiku itu semua adalah sebuah pelita yang tersisa setelah senja, atau bahkan hembusan angin yang menjelma menjadi sebuah kompas.
Mungkin bagimu, Aku hanyalah seseorang yang malas,singgah lalu lekas, padahal aku hanyalah ujung-ujung hujan yang hilang kesabaran, yang slalu memimpikan pelangi sebagai klimaks pada sebuah badai.
Hingga nanti aku hanyalah sebuah kalimat singkat yang sudah lebih dulu kau semat sebelum tamat. Hingga aku hanyalah debur ombak yang kehilangan pantai untuk pulang.
Dan aku, hanyalah malam yang cacat sebab purnama yang gagal bersinar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H