Lihat ke Halaman Asli

Pende Lengo

Mahasiswi Psikologi UNG

Pengalaman Kisah Santriku

Diperbarui: 23 Oktober 2022   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

The Golden Gingsul

Pagi itu, matahari terasa terik di atas. Aku telah bersiap-siap untuk memulai masa-masa sekolah tingkat atas atau bisa juga disebut dengan masa pencarian jati diri di pondok pesantren.

Sejak lulus dari SD, sebenarnya aku ingin sekali mondok. Tapi Mama terlalu mengkhawatirkanku, sebab aku adalah anak bungsu, terlebih aku adalah anak perempuan. Aku hanya bersaudara dua dengan kakakku. Kakakku laki-laki, dua tahun lebih tua dari usiaku.

Apa kata Mama coba, 'kakakmu saja yang laki-laki tak pernah berani untuk sekolah di pesantren, apalagi kau yang hanya adiknya, perempuan pula'. Yaah... begitulah Mama, terlalu mengkhawatirkan sesuatu. Padahal jelas-jelas pondok pesantren itu kan tetap lembaga pendidikan. Toh apa bedanya dengan TPA (Taman Pendidikan Alquran) yang setiap sorenya selalu ramai dengan anak-anak yang mengaji.

Waktu aku masih kelas 1 SD saja, Mama sudah bersikeras mendaftarkanku di TPA yang tidak jauh dari rumah itu. Tapi kenapa disaat aku ingin memperdalam ilmu agama itu di pondok pesantren, Mama selalu khawatir? Jadilah aku masih juga melanjutkan sekolah di SMP yang bisa dibilang tidak terlalu jauh dari rumah itu, seperti layaknya sekolah umum lainnya.

Setelah lulus SMP, barulah aku membulatkan tekadku untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Dan syukur-syukur akhirnya Mama mengizinkanku, meskipun dengan perasaan khawatirnya. 

Papa juga iya iya saja, baginya duniaku tidak terlalu jauh berbeda dengan masa kanak-kanak dulu, dimana tiap malam aku selalu berseru-seru, meminta didongengkan cerita binatang juga kisah raja-raja yang mungkin hanya dikarang-karangnya saja, setiap menjelang tidur atau setiap malam saat listrik padam. Jadi pikirnya aku akan mendengarkan cerita-cerita yang lebih seru lagi di pondok itu.

Niat yang baik dan tekad yang kuat, sudah cukup menjadi bekal bagiku untuk melanjutkan sekolah di lingkungan pendidikan berbasis tauhid dengan Islam yang kaffah itu. Atau lebih tepatnya lagi, di Pondok Pesantren. Dan akan meyandang gelar seorang Santri.

Adalah Pondok Pesantren Hidayatullah Putri "Al-Hikmah" namanya. Tempatnya di Tenilo, Limboto, Kab. Gorontalo. Kalau pondok putranya ada di Kota Gorontalo. Pondok ku tidak juga mewah-mewah amat, karena masih baru merintis. Dulunya sih hanya dibuka untuk tingkat MTs, kemudian karena seiring berjalannya waktu. 

Alhamdulillah sudah dibuka juga untuk tingkat MA dan nggak tau karena pengaruh apa, yang tadinya MTs sudah berubah nama menjadi SMP, entahlah... Wallahu a'lam bissawab.

Dan aku adalah angkatan ke-7 MA Luqman Al-Hakim. Administrasi pendaftarannya standar-standar saja, untuk iuran perbulannya dibagi sesuai kemampuan santri masing-masing, ada yang subsidi dan juga nonsubsidi. Uang gedungnya selama 3 tahun disana juga tidak terlalu mahal. Biaya administrasi ini bisa berubah-ubah suatu waktu, dan mungkin setiap angkatan berbeda-beda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline