Lihat ke Halaman Asli

bahrul ulum

TERVERIFIKASI

Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Strategi Penanganan Anak Tidak Sekolah

Diperbarui: 25 Desember 2020   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GKB Brebes (Dok Adi Assegaf)

Anak Tidak Sekolah di pastikan ada di setiap Desa atau Kelurahan. Semakin tidak tertangani di level keluarga, lingkungan dan desa akan menambah beban bagi Desa/Kelurahan, artinya efek bagi Kab/Kota juga kena imbasnya, terlebih lagi bagi Indonesia.

Anak Tidak Sekolah itu ada 3 kategori yakni pertama usia sekolah tapi tidak sekolah, biasanya adalah Anak Difabel atau Anak Berkebutuhan Khusus, Kedua anak putus sekolah yakni anak yang sekolah di lembag formal atau non formal lalu meninggalkan sekolah dengan alasan beragam, ketiga adalah anak lulus tidak lanjut yakni mereka yang lulus SD/MI tapi tidak melanjutkan ke sekolah, lulus SMP/MTs lalu tidak melanjutkan ke SMA/MA/SMK.

Setiap daerah juga mengalami masalah ketika ditanya masalah database anak tidak sekolah, kadang menyalahkan Dinas Pendidikan kenapa tidak ada data yang valid tentang ATS, terus selama ini ngapain. Sedangkan ketika di tanya sumber dari BPS dijawab coba di buktikan ada tidak by name by addressnya, saat sumbernya dari Dukcapil atau DTKS, akan polemik pada emang data ATS hanya anak yang keluarga miskin saja. 

Saat ditanya adakah regulasi untuk memperkuat tim pelaksana penanganan ATS maka dijawab belum membuatnya, karena menganggap belum ada contoh model penanganan yang bagus dibeberapa derah, jika harus belajar ke daerah tersebut dana terbatas dan menangani anak yang sekolah saja dianggap sudah banyak masalah apalagi harus mengurusi ATS yang tersebar di tiap desa.

Padahal Komitmen Penanganan ATS salah satu yang berperan penting adalah Bupati/Walikota mau fokus menggerakan masyarakat agar  mau peduli untuk pengembalian dan pendampingan ATS. Tidak muda menemukan cara jika kemudian tidak mau mencobanya.

Saat Bupati Roadshow ke Kecamatan dan mengundang semua Kades/Kelurahan untuk hadir dan komitmen pada PATS maka akan ada dampak dari mobilisasi, namun kalau Bupati/Walikota hanya menyerahkan kepada Sekda atau Camat untuk melakukan gerakan cepat maka akan sekencang ketika top leader yang melakukan mobilisasi. Memang tidaklah mudah untuk melakukan seperti itu.

Menentukan baseline data aja harus ditetapkan oleh Pemangku kebijakan, mereka para pengambil kebijkan membuat rumusan kebijakan dan memutuskan bahwa data baseline yang dipakai awal adalah sumber data dari OPD Dinas Pendidikan misalnya, maka dengan ada putusan seperti ini akan menjdi awal menentukan strategi pencapaian.

Dukungan kebijakan PATS  untuk mengawal atas putusan kebijakan ya harus ada lewat tim koordinasi atau pokja yang khusus kebijakan, kemudian harus ada tim pelaksana yang ada baik dilevel kabupaten, Kecamatan dan desa. Akan baik lagi jika dikembangkan sistem aplikasi baik dari awal pendataan, entry data ATS, Rekonfirmasi online dan pelaporan online sehingga mempercepat gerak langkah bagi relawan di lapangan. 

Kebijakan anggaran juga sangat penting, artinya kebijakan berupa bantuan sosial kepada anak tidak sekolah ini, mereka merasa diperhatikan, Sekolah juga tidak merasa dirugikan, termasuk meringankan beban ekonomi wali ATS. Sehingga keberlanjutan anak yang bersekolah tetap sekolah. 

Desa atau Kabupaten/Kota juga harus memiliki Rencana Aksi Daerah termasuk bagaimana kontribusi dana desa membantu gerakan kembali bersekolah dimana memastikan setiap anak yang tidak bersekolah usia 7-18 tahun bisa sekolah, disinilah sebuah komitmen kuat bagi Pemerintah Desa dan komponen masyarakat untuk mau peduli bersama, jika tidak berimbang maka akan terjadi kegagln dalam penanganan ATS. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline