Lihat ke Halaman Asli

bahrul ulum

TERVERIFIKASI

Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Pro dan Kontra Antara Urusan Perut dan Jogo Alam

Diperbarui: 21 Mei 2020   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Bambang S

Lihat gambar diatas, bagi warga yang hidup di daerah pegunungan dan cocok dengan tanaman sayur mayur, maka pilihan mereka adalah lahan yang ada dimanfaatkan dengan baik, agar ada nilai tambah kehidupan ekonomi keluarganya, minimal bisa sejahtera.

Tolak ukur sejahtera, tanah milik sendiri, rumah tembok, lantai keramik, punya parabola, punya sepeda motor baru, punya mobil baru, bisa berangkat haji, dan anak-anaknya sekolah lulus sarjana, kalau otaknya cerdas ya jadilah dokter atau tentara/polisi, usahanya  terus lancar.

Usaha lancar itu ya ukurannya tidak mengalami kesulitan pada tenaga kerja, tidak banyak pesaing, bibit tanaman tersedia, penyakit sayuran tidak ada, hasilnya bagus, harga jualnya bagus, baru sejahtera. Urusan banjir, urusan pemanasan global, urusan nanti longsor, itu urusan lain, kita kan berusaha, orang tanahnya sendiri, diolah sendiri dan untuk menafkahi keluarga kan sah-sah saja.

Namun, bagi beberapa pegiat lingkungan, atau kelompok masyarakat yang ingin merawat hutan, tindakan alih fungsi hutan tidak dibenarkan, cuaca bisa panas, tanah longsor, saat hujan berpotensi air tidak menyerap air, wilayah hilir berpotensi banjir bandang, kasihan mereka yang hidup di wilayah hilir. Saat hujan besar air langsung begitu deras mengalir, maklum tidak ada pohon tegakan, hutan sudah gundul, waktu sekolah kita diberi pengetahuan agar menjaga dan melestarikan hutan di sekitar kita, agar alami dan tidak boleh menebang hutan sembarangan, apalagi melakukan penggundulan, jelas akan berbahaya. Teorinya begitu. 

Pemerintah Daerah pastinya tahu, dan paham dengan kondisi yang terjadi di wilayahnya, disana ada Pemerintah Desa, Camat, ada toma dan toga, serta pegiat sosial lainnya, pastinya mereka paham kondisi wilayahnya, dan sudah melaporkan kondisi daerahnya kepada pengambil kebijakan, kalaupun tidak ya sudah camat paham karena daerah tersebut dilewati saat melakukan kunjungan lapangan. 

Biasanya kalau ada musibah besar, seperti longsor atau hutan bandang, dan bencana lainnya, baru sadar, itupun sadar sesaat, begitu ganti hari ya sudah berlalu lagi, kalau diperbaiki ke normal lagi jelas butuh dana yang tidak sedikit, jika tanpa ada intervensi negara tidak mungkin akan terselesaikan, jika dibiarkan ya menjadi masalah yang tidak kunjung selesai. 

Penulis bisa membandingkan dari fakta lapangan,  antara lahan yang sudah alih fungsi hutan dengan memanfaatkan lahan sawah ditanami hutan tegakan dan diganti dengan budidaya sayur mayur. 

Pertama jika hutan alami dan asri, maka tingkat kesejukan, hawa dingin, dan awan mendung serta serapan air semakin terasa, misalkan dilahan tersebut di rubah jadi tanaman kol atau kubis atau kentang, maka cuaca panas akan terasa, stok air pada sumber mata air semakin berkurang, namun kalau lahan tetap banyak pohon tegakan, tumbuh lebat tanamannya, maka sumber mata air semakin banyak, serapan air saat hujan juga cepat diserap oleh akar pohon tersebut, dan hawa dingin sangat sejuk, kualitas udara jelas sangat terasa, dan muncul aneka satwa yang hidup dari lebatnya hutan yang ada. 

Secara nilai ekonomi memang tidak sebanding dengan pendapatan sayur mayur, namun secara kualitas lingkungan sangat dibutuhkan oleh semua orang, jika jadi obyek wisata, maka menjadi daya tarik tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline