Beberapa warga yang rumahnya di kampung, biasanya untuk berwudhu memakai gentong wudhu dikenal dengan istilah padasan, bertempat di belakang rumah, dipinggirnya diberi sket geribig dan buangan air wudhu, kadang dialirkan ke comberan, ada pohon pisang atau tanaman lainnya, terkadang juga air biar meresap ke tanah.
Mereka memakai timba dari sumur lalu dikerek, satu per satu air dimasukan ke dalam padasan tersebut hingga penuh. Jarang air padasan dibersihkan sehingga tampak ada lumut disekeliling gentong yang berisi air tersebut. Memang terkesan kumuh, namun itulah kondisi yang sering terjadi di lingkungan pedesaan.
Tahun 90-an muncul padasan wudhu dengan bekas cat yang dilobangi pakai paku yang dipanaskan, lalu ditusuk hingga timba berlubang, sekarang gentong atau padasan sudah mulai menghilang, berubah menjadi padasan bekas timba cat. Air dari kolam yang memenuhi syarat untuk wudhu, sebagian warga diambil dengan timba cat tersebut, lalu mereka gunakan untuk bersuci sebelum sholat.
Seiring perkembangan zaman, beberapa rumah hunian sekarang menggunakan kain kran dan didesain untuk tempat wudhu, pipa pralon yang dialirkan ke sumur dengan tenaga pompa, sekali listrik dinyalakan atau bisa dengan air tandon diatas sebagai cadangan air bisa disalurka lewat kran tersebut.
Saat listrik mati, tandon air tersebut sudah tersedia air sehingga tidak khawatir saat berwudhu, namun bagi mereka yang tidak punya tandon air maka mereka hanya modal pompa jetpam dan tinggal dikasih saklar on off, air bisa menyala dan kran bisa digunakan untuk berwudhu.
Bahkan disejumlah masjid atau musholla mereka buat kolam penada air, lalu setiap kolam yang ada dikasih kran untuk tempat wudhu jamaah, sehingga bisa menghemat listrik.
Bila kita lihat perkembangan yang ada dari mulai padasan gentong, timba air, dan kran, tentunya masing-masing punya tujuan yang sama yakni bisa untuk berwudhu sebagai syarat sahnya sholat wajib, dan sunnah termasuk untuk membaca alquran tiap hari.
Dalam literatur fiqh Madzhab Syafi'i, air musta'mal memang tidak sah digunakan untuk bersuci. Air Musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis yang tidak mengalami perubahan didalamnya.
Dalam kitab I'natut Thlibn, I/37, ada empat syarat air bisa dikatakan musta'mal:
Volume air sedikit (yakni kurang dari dua qullah/500 kati Baghdad, +- 216 liter), Sudah digunakan dalam rukun wajib thoharoh, Sudah terpisah dari anggota tubuh, Tidak ada niat sekedar nyiduk saja ketika memasukkan tangan ke dalam wadah air ataupun ketika anggota tubuh menyentuh air.
Adapun jika air muthlak terpercik air musta'mal, maka terdapat beberapa-beberapa pendapat ulama sebagai berikut : (1) Bila diperkirakan pencampurannya mengakibatkan perubahan, maka tidak dapat dipakai mensucikan lagi, bila tidak mengalami perubahan maka masih bisa dipakai mensucikan.