Beberapa Sekolah melarang anak usia sekolah untuk naik sepeda motor, namun fenomena menariknya adalah, disaat sekolah tidak membolehkan anak sekolah membawa sepeda motor, muncul bisnis parkir di sekitar kompleks sekolah, inilah yang memberikan angin segar bagi anak sekolah untuk membawa sepeda motornya, cukup Rp 2000 langsung bayar parkir dari pagi hingga pulang sekolah. Pertanyaannya adalah siapa yang salah dan merasa bangga, apakah anak atau orangtuanya ketika anak ini ke sekolah bawa kendaraan ? atau sudah menjadi budaya, atau ada pembiaran terkait pelanggaran.
Jika merujuk pada aturan regulasi maka dapat dijelaskan bahwa Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah jelas. Mereka yang mau mengendarai motor/mobil harus berusia minimal 17 tahun. Pada Pasal 281 disebutkan "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Karena itulah, mari kita ajarkan anak-anak kita keamanan berkendara dengan tidak mengendarai kendaraan bermotor sampai umurnya sesuai.
Siapa yang dianggap lalai
Menurut penulis, persoalan anak mengendarai sepeda motor, sebenarnya tanggungjawab orangtua, karena ada konsekuensi sebab akibat bila anaknya mengendarai kendaraan bermotor, mereka dipastikan tidak membawa surat SIM, kalaupun ada hanya membawa Helm dan STNK, namun sisi yang lain sebagian orangtua juga secara umum memikirkan yang terbaik untuk anak-anaknya, baginya daripada naik angkot kemudian jadi korban perampokan, perampasan atau bahkan perkosaan, lebih baik diantar atau naik kendaraan sendiri.
Siapakah yang dianggap lalai, orangtua kah, atau Negara yang lalai, karena tidak memikirkan angkutan umum yang baik, layak, aman dan nyaman. Memang negara bisa apa kalau terjadi sesuatu hal yang buruk? Dulu saat saya sekolah, tidak pernah menggunakan sepeda motor, aspek kepatuhan terhadap aturan negara benar-benar ditaati, namun seiring perkembangan jaman, anak jaman now, lebih bangga naik motor daripada menggunakan kendaraan umum, karena terlalu banyak membuang waktu.
Usaha parkir dikompleks sekolah pun menjadi berkembang, karena mereka membaca peluang bisnis ini, wajar jika ada pemandangan yang sering dijumpai, ada rumah dihalamannya penuh dengan kendaraan roda dua. Anak-anak ini berangkat dari rumah naik sepeda motor, untuk menghindari pelanggaran disekolah, maka mereka mencari peluang angin segar yakni parkir kendaraan bermotornya di sekitar rumah warga yang menyediakan parkir bagi anak sekolah. Salahkah warga saat memanfaatkan halaman rumahnya untuk bisnis parkir ini, atau memang pinternya anak sekolah melihat lingkungan sekitarnya karena ada tempat menaruh sepeda motor dengan aman dan murah.
Pihak Kepolisian Kab/kota terus melakukan kegiatan operasi kendaraan, baik kendaraan roda empat maupun roda dua, namun lebih sering kendaraan roda dua, karena pelanggaran roda dua sering melakukan pelanggaran lalu lintas, yakni tidak membawa surat-surat bermotor, bukti banyaknya pelanggaran yakni disetiap ada sidang di PN atau Kejaksaan, ratusan unit sepeda motor datang untuk membayar tagihan atas pelanggaran, namun mereka ternyata tidak jera, apalagi anak sekolah, dipastikan saat ada operasi kendaraan bermotor, mereka akan mencari celah bagaimana menghindari jalur kendaraan bermotor, jalur curut dipilih sebagai jaminan agar kendaraan yang dibawa lolos operasi.
Sepertinya fenomena pelanggaran lalu lintas dianggap hal yang lumrah, kalaupun tilang, ya tinggal bayar saja,toh pelanggaran tidaklah setiap hari, inilah dilematis yang muncul sekarang, orangtua kadang merasa bangga, disatu sisi kebijakan mobil atau kendaraan gratis dari pihak pemerintah Kabupaten/Kota tidak bisa menyentuh ke semua aspek layanan anak sekolah agar bisa antar jemput ke sekolah, bila ada pun anak harus membayar transport bulanan. Sebuah dilema di era perkembangan yang semakin berkembang pesat, aspek kepatuhan warganya semakin berkurang, sedangkan proses pembiaran terhadap aturan pun dianggap hal yang biasa. semoga ada solusi yang terpecahkan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H