Lihat ke Halaman Asli

bahrul ulum

TERVERIFIKASI

Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Masalah Kesehatan Harus di Pecahkan secara Holistik

Diperbarui: 26 Januari 2018   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Holistik Kesehatan/Foto Arie Rukmantara

Kesehatan merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap orang. Namun, kesehatan seringkali menjadi hilir (dampak) dari berbagai permasalahan yang dialami individu dan lingkungan sekitarnya. Padahal, kesehatan merupakan modal awal bagi perkembangan potensi individu dalam hidup.

Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu: 1) gaya hidup (life style); 2) lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya); 3) pelayanan kesehatan; dan 4) faktor genetic (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi status kesehatan seseorang.

Dalam sambutannya pada peringatan Hari Gizi nasional (HGN) ke-58 tahun 2018 di Jakarta, Kamis pagi (25/1), Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Anung Sugihantono, M Kes, menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan tidak mungkin mampu sendirian dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan kesehatan. 

Dalam upaya mengatasi masalah gizi, khususnya masalah stunting pada anak, memerlukan peran lintas sektoral karena disebabkan oleh faktor multidimensi.

"Faktor predisposisi dari persoalan-persoalan gizi di antaranya adalah faktor perilaku, pengalaman yang terkait dengan pelayanan kesehatan dan gizi, faktor individu yang berkaitan dengan personal maupun keluarga, juga faktor lingkungan, mempunyai peran yang besar di dalam pemecahan masalah gizi di Indonesia", ujar Anung.

Seperti diketahui, penyebab langsung dari masalah gizi adalah asupan makanan yang tidak memadai, dan keberadaan ancaman penyakit infeksi yang berulang.

Adapun faktor-faktor tidak langsung, misalnya kurangnya pengetahuan mengenai gizi dan pola pengasuhan; akses air bersih yang tidak memadai; higienis dan sanitasi yang buruk; keterbatasan (sulit) untuk mengakses pelayanan kesehatan; ketersediaan pangan; kondisi sosial dan pendapatan (ekonomi); hingga ketersediaan stok bahan bakar minyak.

"Persoalan makronya ketersediaan pangan, sementara persoalan mikronya karena aksesibilitas", ungkapnya.

Menurut Anung, pendidikan gizi menjadi penting untuk dilakukan oleh semua orang, semua pihak di semua lapisan masyarakat dengan pesan-pesan yang terstandarisasi (baku), harus sampai tidak hanya menyentuh aspek pengetahuan saja, namun juga dapat mempengaruhi aspek sikap bahkan perubahan perilaku.

"Pengetahuan bagaimana memilih, mengolah dan menyajikan makanan yang baik dan diperlukan tubuh menjadi satu hal sangat penting. Di luar itu, sanitasi. Kalau kesehatan selalu mengatakan cuci tangan pakai sabun, namun di sana air bersih tidak ada, pasti penyakit infeksi tetap ada", imbuhnya.

Anung juga menegaskan bahwa upaya penyelesaian masalah gizi memerlukan dukungan dari Kementerian/Lembaga lain. Upaya ini harus dilakukan bersama-sama mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, masyarakat, dan lainnya, agar penurunan prevalensi stunting dapat dipercepat dan terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline