Suatu ketika temanku dari Jakarta datang ke kampung halamanku, dia bilang sambil menunjukkan warna langit, " Mas, lihat warna langitnya, masih terlihat biru, berarti lingkungan sekitar wilayah ini masih baik, sangat berbeda mas, warna langit saat di Jakarta, langitnya sudah tidak sebiru ini," ungkap Nugroho sambil menengadah wajahnya ke langit.
Penulis jadi penasaran, ada apa dengan langit biru itu, setelah berselancar di website kementrian lingkungan hidup, ternyata Langit Biru merupakan program Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) yang bertujuan untuk mendorong peningkatan kualitas udara perkotaan dari pencemaran udara, khususnya yang bersumber dari kendaraan bermotor melalui penerapan transportasi berkelanjutan. Saat ini, pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi di kota-kota besar di Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kemacetan lalu lintas tetapi juga menimbulkan masalah lain seperti kecelakaan lalu lintas, polusi udara, kebisingan, kerugian ekonomi serta kesehatan.
Ternyata World pada tahun 1994 memberikan intisari ada Kerugian ekonomi dan dampak kesehatan akibat pencemaran udara dari sumber bergerak di kota-kota di Indonesia, memperkirakan biaya ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai Rp. 500 milyar.
Studi ini menghitung terjadi 1.200 kematian prematur, 32 juta masalah pernapasan, dan 464.000 kasus asthma. Sementara data Profil Kesehatan Jakarta tahun 2004 menunjukkan sekitar 46% penyakit masyarakat bersumber dari pencemaran udara antara lain gejala pernapasan 43%, iritasi mata 1,7%, dan asthma 1,4%, sementara infeksi saluran pernapasan dan masalah pernapasan lainnya selalu berada di jajaran paling atas.
Kualitas di langit biru di jalur pantura jawa pun sangat berbeda, ketika penulis mencoba mengunjungi beberapa desa di Kecamatan Petungkriyono, dimana masih ada kabut dan juga terasa sejuk bila naik sepeda motor melintasi daerah tersebut, hutannya begitu asri, masih tumbuh pepohonan yang sudah berumur puluhan tahun kokoh berdiri, bahkan suara burung dan air mengalir begitu jernih dari balik pegunungan tersebut.
Air terjun bisa terlihat putih, dan masih alami bahkan hawa terasa sejuk dan dingin, langit pun tampak biru sekali, saat senja menyingsing, hawa kabut dan juga tetesan air hujan mengguyur sekeliling wilayah tersebut, begitu nyaman dan aman tanpa ada suara kendaraan bermotor dan mobil.
Masyarakat begitu asik memberikan makanan suket gajah untuk hewan peliharaanya, begitu lahap sapi, wajar jika desa ini dikenal dengan kampung beternak sapi metal dan limosin serta sapi lokal.
Konsep adipura yang dicanangkan, memberikan bukti kepada setiap daerah untuk ada daerah penyangga paru-paru kehidupan, wilayah gunung diharapkan untuk tetap melestarikan hutannya, jangan ada alih fungsi hutan, daerah aliran sungai (DAS) tidak diperbolehkan adanya bangunan liar yang tumbuh subur dialiran tanah tersebut, dengan dalih apapun, harus dibongkar karena DAS yang ada bisa ditanami pohon yang kuat dan nantinya bisa menjadi daerah penyanggah secara alamiah dan mempercantik tata kota nantinya.
termasuk juga warga ikut melestarikan tanaman keras yang kuat, rumah harus ada resapan, setiap perempatan jalan ditanami pepohonan dengan harapan tujuan mulia agar langit biru ini bukan hanya simbol semata tapi benar-benar menjadi sebuah gerakan masyarakat untuk peduli lingkungan sekitarnya, terutama dalam merawat dan melestarikan lingkungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H