Banyak lahan tadah hujan di pulau jawa saja yang dimiliki oleh para petani dibiarkan terbengkalai karena susahnya mendapatkan pengairan dengan baik dan lancar.
Terbukti saat penulis melewati persawahan dari Brebes ke Jakarta dengan fasilitas Kereta api atau bus umum bahkan mobil roda empat, sebelah kanan dan kiri tampak lahan pertanian tidak ditanami dan dibiarkan saja. Sepertinya para pemilik tanah, penyewa lahan, buruh tani lahan pertanian tidak mau mengolahnya.
Kenapa demikian, ada beberapa faktor utama, yakni sumber ketersediaan air yang tidak melimpah atau karena musimnya kemarau, kedua, harga ongkos produksi dengan pemasukan produk saat dijual sering merugi, ketiga, ongkos transportasi saat mengirimkan hasil pertanian ke lokasi penjualan sangat tinggi, termasuk faktor hama pertanian yang menyebabkan gagal panen, akhirnya petani memilih menganggurkan lahannya daripada tidak pernah mendapatkan keuntungan dari mengolah lahan pertanian.
Terrmasuk saat mencari buruh tani atau orang yang bekerja disawah, semakin lama semakin susah, padahal dana untuk membayar ongkos buruh tersedia. Dampaknya adalah ada jutaan hektar lahan pertanian menganggur tanpa ada solusi alternatif, sehingga berdampak juga pada ketersediaan stok pangan dibeberapa tempat.
Pengamatan penulis, sejak tahun 2016 Pemerintah pusat sedikit demi sedikit mengeluarkan kebijakan untuk membuat embung atau penampung air dalam skala besar, walaupun sangat terbatas yang diterima tingkat desa.
Namun seiring perkembangan jaman, akhirnya untuk meningkatkan daya ungkit hasil tanaman petani dilahan pertanian, maka pendekatan layanan dihulu dan hilir di munculkan, Pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 Soal Prioritas dana desa 2018, yakni Program pembangunan embung dan implementasi ini mendapat sambutan sangat baik dari desa-desa se-Indonesia.
Menurut Data Kementerian Desa 2017 menyebutkan, dari total 15 ribu desa prioritas pembangunan saat ini terdapat 7.440 desa yang sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur air untuk mengairi area persawahan yang mereka miliki. Soalnya, pertanian adalah bidang utama yang menghidupi desa-desa itu. Sehingga pembangunan embung menjawab persoalan sebagian besar desa.
Hanya dalam beberapa bulan prioritas ini dikampanyekan, sudah 628 embung yang terbangun di berbagai desa se-Indonesia. Ini artinya keberadan embung memang sangat dibutuhkan. Program ini juga mendapat dukungan kuat dari Kementerian Pertanian.
Problem Embung Saat Kemarau dan Penghujan
Pengamatan penulis di wilayah kelahiran, dimana Brebes sebagai basis pertanian bawang merah dan juga produksi gabah, ternyata embung sebagai tempat penampung air bisa beroperasi lebih baik jika embung tersebut saat musim penghujan, karena saat musim penghujan, semua embung mendapatkan air dengan sangat melimpah, bahkan sejumlah pemilik lahan tidak melirik sama sekali dengan stok air yang berada di embung tersebut. malahan sebagaian mereka untuk tempat rekreasi pemancingan ikan.
Namun saat musim kemarau, disamping lahan pertanian kesulitan air, embung kondisinya mengering dan tidak ada air setetes pun, sehingga embung jadi tidak berfungsi sama sekali, petani memilih membuat sumur dalam dengan pola mengebor untuk mendapatkan air, ada yang model artesis dan ada juga yang cuma membuat sumur dalam saja, saat dibutuhkan air, mereka harus bawa diesel atau pompa untuk menyedot sumber air tersebut.