Sebaran bidan desa ditingkat Kabupaten/kota dibilang tidak merata, kenapa penulis mengatakan demikian, karena secara mayoritas paramedis ini ingin ditempatkan di sekitar kota Kabupaten. proporsi sebaran antara di daerah pesisir, tengah dan pegunungan sangat timpang, jika ada diprediksikan di pesisir untuk 1 desa bisa lebih dari 3 atau 4 desa. Apalagi jika diwilayah kerja ada fasilitas rumah sakit, maka secara otomatis ada kelebihan bidan yang berada ditempat tersebut.
Saat paramedis ini ditempatkan di daerah pedesaan yang jauh dari pusat keramaian seperti di desa-desa pegunungan, desa yang terisolir, desa yang tidak ada sinyal handphone dan desa-desa dengan permasalahan yang kompleks karena faktor jarak tempuh yang jauh, mereka awalnya mau tapi terpaksa, namun pada substansi kerjanya mereka sulit untuk menerima kenyataan, jika dipaksakan untuk bekerja ditempat tersebut, hanya dalam beberapa tahun, mayoritas memilih untuk mengajukan permohonan kepada institusinya untuk minta ditempatkan dekat dengan kompleks ibukota pemerintahan atau berada di daerah datar dengan alasan keluarga, suami ataupun alasan lain.
Sebagai contoh saja, di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah, di wilayah ini ada 9 desa yang tersebar, dengan jarak tempuh antar desa sangat jauh, satu desa memilih beberapa dukuh yang tersebar, bahkan ada di pucuk gunung, kondisi medan yang begitu tajam dan berkelok-kelok serta samping bahu jalan jurang, kadang saat dikunjungan lapangan atau visit posyandu menemui longsoran tanah yang menutupi sebagian bahu jalan disaat musim hujan.
Wilayah 9 desa ini terisolir pada sinyal telekomunikasi, seperti di beberapa dusun kayupuring, dusun di desa tlogohendro, desa semego, dusun sikucing yosorejo, kadang kondisi jalan yang dilalui dominan jalan bebatuan, jika beraspal pun hanya beberapa ruas jalan Kabupaten dan Provinsi.
Faktanya di wilayah 9 desa ini minim bidan, baru ada satu desa satu bidan, kalaupun ada lebih, biasanya bidan yang menempati desa tersebut adalah warga desanya yang melanjutkan sekolah jenjang pendidikan kebidanan atau perawat. Namun mereka terkendala status karena bukan tenaga resmi yang ditempatkan oleh institusi pemerintah.
Hidup sebagai tenaga paramedis di daerah pegunungan, betapa kompleksnya, mereka harus beradaptasi dengan medan yang menantang, nyawa menjadi taruhannya, dan saat musim hujan, tampak kabut tebal yang menyelimuti lingkungan sekitarnya, bahkan dalam jangkauan 1 meter tidak tampak rimba kendaraan yang lain. Jika koordinasi dengan pihak puskesmas atau dinas kesehatan harus turun gunung dengan jarak tempuh yang lumayan jauh.
Apresiasi betul untuk paramedis ini, penulis yang sudah merasakan langsung butuh energi dan tenaga yang sangat kuat, naik motor harus dengan stamina prima, termasuk kondisi motornya, dibayangkan jika mendadak ban sepedanya gembes atau tiba-tiba hujan lebat disertai angin kencang, sudah jalannya licin, becek lagi.
Bila ada seorang ibu hamil yang mau melahirkan di waktu malam hari, sedangkan kondisi ibu perdarahan hebat, bidan ini harus merujuk ke puskesmas terdekat atau dirujuk ke Rumah Sakit Daerah atau swasta, bidan desa ini harus siap dengan tenaga, waktu, dan perjuangan yang luar biasa.
Penulis mengatakan perjuangan mereka benar-benar harus diakui sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan di desanya, engkaulah pahlawan sesungguhnya, karena lewat jasamu dan profesinya bisa membantu meningkatkan derajat kesehatan dan juga menunkan angka kematian ibu dan bayi. Tanpa komitmen yang kuat pada diri seorang bidan desa di pegunungan mustahil negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan. Terima kasih bidanku yang cantik dan penuh semangat, perjuanganmu tak kenal batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H