Peranan pendidikan dalam membentuk generasi masa depan tentu memegang peranan yang sangat besar. Hal ini telah menjadi perhatian penting bagi para pendiri bangsa, jauh sebelum era globalisasi seperti saat ini. Salah satunya adalah Bapak Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara (KHD) mengingatkan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Oleh sebab itu, pendidikan harus bisa mengakomodir perkembangan pengetahuan dan karakter peserta didiknya. Untuk dapat mewujudkan hal ini, sekolah harus menjadi tempat yang kondusif bagi anak. Budaya sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk lingkungan belajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa. Salah satu pendekatan yang perlu semakin diperhatikan adalah penerapan budaya positif. Dalam artikel ini, kita akan mengenal lebih jauh mengenai budaya positif di sekolah dan pengembangannya agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.
MAKNA DAN KONSEP INTI BUDAYA POSITIF
Budaya positif adalah sebuah konsep yang mengacu pada pola-pola perilaku, nilai-nilai, norma-norma, dan sikap-sikap yang mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan kesejahteraan individu atau kelompok. Budaya positif memberikan dasar yang kuat untuk mempromosikan perkembangan sosial, emosional, dan akademik siswa. Terdapat beberapa konsep inti budaya positif, yakni :
Perubahan Paradigma Belajar
Motivasi Perilaku Manusia
Disiplin Positif
Nilai-Nilai Kebajikan
Kebutuhan Dasar Manusia
Posisi Kontrol Guru
Keyakinan Kelas
Segitiga restitusi
Perubahan Paradigma Belajar
Pembelajaran dengan paradigma baru merupakan pembelajaran yang dirancang berdasarkan prinsip pembelajaran "berdiferensiasi" sehingga peserta didik belajar sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan tahap perkembangan sesuai teori psikologi modern untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.
Motivasi Perilaku Manusia
Diana Gossen menyebutkan bahwa terdapat 3 motivasi perilaku manusia, yaitu:
Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain
Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya
Dari ketiga motivasi ini, maka motivasi ketiga adalah motivasi yang akan membuat seseorang mempunyai disiplin positif karena motivasi yang dihasilkan bersifat internal.
Disiplin Positif
Disiplin Positif adalah suatu pendekatan untuk menerapkan disiplin dari dalam diri anak tanpa hukuman dan hadiah. Disiplin Positif perlu diterapkan baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Dengan menerapkan Disiplin Positif, diharapkan tindak kekerasan dapat dihindari. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, beliau menyatakan bahwa, untuk menciptakan murid yang merdeka, maka syarat utamanya harus mempunyai disiplin yang kuat, yaitu disiplin diri yang berasal dari motivasi internal (dari dalam diri sendiri). Jika tidak mempunyai motivasi internal, maka diperlukan motivasi eksternal (orang lain) untuk mendisiplinkan dirinya.
Nilai-Nilai Kebajikan
Nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Nilai nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Berikut adalah beberapa contoh nilai-nilai kebajikan :
- Profil Pelajar Pancasila
Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, dan Kreatif
- IBO Primary Years Program (PYP)
Toleransi, Rasa Hormat, Integritas, Mandiri, Menghargai, Antusias, Empati, Keingintahuan, Kreativitas, Kerja sama, Percaya Diri, dan Komitmen
- Keterampilan Hidup
Dapat dipercaya, Lurus Hati, Pendengar yang Aktif, Tidak Merendahkan Orang Lain, Memberikan yang Terbaik dari Diri.
Kebutuhan Dasar Manusia
Menurut Dr. William Glasser dalam Choice Theory, terdapat 5 Kebutuhan Dasar Manusia, yaitu :
- Kebutuhan Bertahan Hidup
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Kebutuhan biologis sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup.
- Kasih sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima)
Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk disayangi dan diterima meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.
- Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.
- Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.
- Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)
Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting.
Posisi Kontrol Guru
Menurut Diane Gossen, terdapat 5 posisi kontrol seorang guru terhadap murid, yaitu :
- Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
"Patuhi aturan saya, atau awas!"
"Kamu selalu saja salah!"
"Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai"
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):
"Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?"
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?
Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.
- Pembuat Merasa Bersalah
Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
"Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu"
"Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?"
"Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?"
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
Pembuat Merasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):
"Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali."
Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Hasil:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
- Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
"Ayo bantulah, demi bapak ya?"
"Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?"
"Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan".
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, "Saya pikir bapak/Ibu teman saya". Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)
"Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini." (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Hasil:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.
- Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
"Peraturannya apa?"
"Apa yang telah kamu lakukan?"
"Sanksi atau konsekuensinya apa?"
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):
Guru: "Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?"
Adi: "Tahu Pak!"
Guru: "Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang harus dilakukan bila terlambat?"
Adi: "Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya."
Guru: "Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu"
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Hasil:
Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
- Manajer
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
"Apa yang kita yakini?" (kembali ke keyakinan kelas)
"Apakah kamu meyakininya?"
"Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?"
"Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?"
"Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?"
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: "Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?"
Adi: "Tahu Pak, jam 7:00!"
Guru: "Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?"
Adi: "Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal."
Guru: "Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?"
Adi: "Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu."
Guru: "Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri"
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.
Untuk mewujudkan budaya positif di sekolah, maka kita perlu berkolaborasi dengan semua stakeholder sehingga kita dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi sekolah inklusif yang berpihak pada murid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H