Lihat ke Halaman Asli

Tommy Patrio Sorongan

Bocah Kaliabang Dukuh Bekasi

Tukang Bangunan dan Rasa Lelah yang Dibayar dengan 150 Ribu

Diperbarui: 10 Juli 2020   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem harian memiliki kelebihan, yaitu tukang harus bekerja terus tanpa ada kesempatan menganggur. Untuk mengefisienkan pekerjaan tukang, Anda harus menyiapkan terlebih dahulu material serta gambar teknik yang menerangkan apa saja yang perlu diganti, dirobohkan dan dibangun. (www.shutterstock.com)

Hari ini saya mulai dengan cukup terlambat. Ya, kemarin saya tidur cukup larut, kurang lebih setengah 3 pagi. Namun di balik telat tidurnya saya tadi malam ada hal menarik yang baru mulai saya sadari pagi ini.

Tadi malam saya benar-benar tidak produktif sama sekali. Biasanya saya menghabiskan waktu sebelum tidur untuk menulis sesuatu yang akan dipublish keesokan harinya atau membaca berbagai macam buku, majalah, atau bahkan artikel. 

Malam itu saya bener-bener gak ngapa-ngapain. Bahkan melirik video YouTube atau menonton film dari Netflix pun tidak. Handphone saya pun saya pinggirkan. Jadi hampir semalaman itu saya hanya bengong layaknya sapi ompong yang menunggu sang surya untuk bangkit.

Tetapi memang kejadian malam itu bukan tanpa alasan. Tadi malam berusaha untuk menahan rasa pegal di sekitaran pinggang saya dan di beberapa titik pergelangan kaki dan tangan. 

Entah apa penyebab medisnya, namun saya mengetahui satu hal. Kemarin saya ikut membantu tukang-tukang di rumah untuk merenovasi rumah saya. 

Saya membantu mengangkat adonan cor dari bawah ke lantai dua. Memang wajar untuk seorang yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan pertukangan untuk merasa sedikit encok setelah mencoba membantu para tukang untuk memuluskan pekerjaannya.

Alhamdullilah, pagi ini saya sudah merasa jauh lebih baikan. Meski sedikit terlambat saya tetap memulai hari dengan biasa. Ditemani kopi dan pisang goreng "andalan gue", saya pun mulai merefresh pikiran saya agar dapat berpikir tanpa rasa kantuk. Slurppp, ngopi dulu omm biar greget, hehehe....

Di tengah gigitan saya terhadap pisang pagata goreng ala Manado yang sedang saya nikmati pagi ini, saya mulai berpikir dan menanyakan sesuatu, "Bagaimana dengan nasib tukang-tukang itu yaa? Mereka bekerja tidak dengan safety gear yang lengkap, mengandalkan kekuatan fisik di tengah terik matahari Bekasi yang gersangnya naudzubillah, dan naik ke atap rumah dengan risiko yang sangat tinggi. Sudah begitu, pekerjaan ini masih dipandang sebelah mata oleh orang Indonesia".

Sudah Tua masih kerja proyek tanpa alas kaki (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Coba kalau Anda seorang cowok yang mau melamar seorang wanita dan mengatakan kalau Anda seorang kuli bangunan di depan orangtuanya. Gimana kira-kira responnya?

Lantas bagaimana bayarannya? 200 ribu untuk tukang dan 150 ribu untuk helpernya. Harga ini memang harga standar di sekitaran rumah saya. Tapi kalau saya yang harus melakukannya, hmm seperti tidak dehh.

Sebenarnya kalau kita melihat pekerjaan si tukang ini sangatlah kompleks sekali. Bukan hanya bertaruh nyawa, untuk menjadi seorang tukang mereka harus mengerti ilmu bangunan, kelistrikan, air dan pipa, serta besi dan perkayuan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline