Lihat ke Halaman Asli

Titik Annisa Nur K.

Ibu rumah tangga yang hobi menulis dan membaca.

Selamat Tinggal, Welu

Diperbarui: 18 Agustus 2021   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku langsung jatuh cinta pada lelaki itu. Hidung mancung dengan rahang tegas tetapi terlihat sangat lembut dan penyayang. Saat dia sedang melihat-lihat, aku berusaha terlihat aktif dan menggemaskan. Aku berlari-larian dan beraksi selincah mungkin di rumah kecilku. Ya, aku berharap bisa lepas dari tempat sempit ini. Aku sudah tak tahan jika setiap hari harus terkena asap kendaraan yang lalu lalang di depanku dan teman-teman.

Sebenarnya, aku sudah sangat kerasan di tempat tinggalku yang lama. Bisa selalu bertemu dengan ibuku dan tercukupi kebutuhan makan sehari-hari. Apalagi suasana yang asri, jauh dari lalu lalang kendaraan bermotor yang penuh polusi. Sayangnya, setelah disapih, aku dan saudara serta teman-temanku harus rela untuk berpindah tempat. Mengikuti tuan baru yang ternyata bukan berniat mengurusi kami. Dia hanya ingin mencari keuntungan, menukar kami dengan beberapa lembar uang. Untuk itulah, aku ingin segera pergi darinya. Menemukan tuan baru yang mungkin bisa lebih menyayangiku.

Selama sepuluh menit, kugencarkan aksiku. Lelaki itu mulai menunjuk-nunjukku dan beberapa teman-temanku.

"Yang itu berapa, Pak?"

"Tujuh puluh lima ribu, seekor," jawab tuanku. "Ambil dua, seratus empat puluh ribu, Mas."

Lelaki itu tampak menimbang-nimbang. Lalu menunjukku yang berbulu cokelat semburat putih dan satu temanku yang berbulu putih semburat abu-abu. "Dua itu, ya, Pak." Dia menyerahkan dua lembar uang berwarna merah.

"Nggak ada kembalian, Mas. Ambil satu lagi jadi dua ratus ribu saja, deh," bujuk tuanku.

Lelaki itu kembali terdiam sejenak, menimbang-nimbang tawaran tuanku. "Oke, deh, Pak. Yang itu, ya!" Dia menunjuk satu lagi temanku yang berbulu putih polos.

Aku melonjak-lonjak girang. Sungguh tak sabar melihat bagaimana rumah baruku nanti. Aku pun patuh saja saat tuan lamaku memasukkan kami bertiga ke dalam satu rumah kawat kecil.

Lelaki itu, tuan baruku, mengikat rumah sempit kami di jok belakang motornya. Menepuk-nepuk perlahan rumah kami dan bergumam, "Cari kandang yang lebih gede dulu, ya?" Dia seolah-olah sedang mengajak kami berbicara. Lalu, dia pun membeli sebuah rumah dengan jeruji besi yang lebih kokoh dan luas. Setelahnya, kami diajak menyusuri jalanan berasap kendaraan bermotor menuju rumahnya. Sungguh perjalanan yang luar biasa, melihat banyak suasana baru yang sebelumnya tak pernah kulihat.

Lima belas menit kemudian, sampailah kami disebuah perkampungan yang masih cukup asri. Banyak sawah dan pepohonan. Tuan baruku memberhentikan motornya di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup lebar. Bukan halaman tuanku sebenarnya, tetapi jalan yang masih berupa rerumputan pendek. Aku dan teman-temanku girang bukan kepalang, melihat suasana rumah baru kami yang nyaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline