Transformasi TNI Angkatan Laut (TNI AL) menjadi Blue Water Navy adalah langkah besar dan strategis untuk memastikan Indonesia dapat menjaga kedaulatan dan memainkan peran penting dalam stabilitas kawasan Indo-Pasifik. Secara sederhana, Blue Water Navy berarti TNI AL memiliki kemampuan untuk beroperasi jauh melampaui perairan domestik hingga ke laut lepas, yang penting untuk melindungi jalur komunikasi laut (SLOC) yang vital bagi ekonomi dan keamanan negara. Langkah ini didukung oleh hukum nasional seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan dan keselamatan bangsa, serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menugaskan TNI AL untuk melindungi perairan nasional, termasuk menghadapi ancaman di luar batas wilayah langsung. Di tingkat internasional, Indonesia memanfaatkan kerangka hukum seperti UNCLOS 1982, yang memberikan hak untuk mengelola Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Dengan Blue Water Navy, Indonesia dapat lebih efektif melindungi wilayah ini dari ancaman seperti perikanan ilegal atau pelanggaran oleh negara lain. Selain itu, keterlibatan aktif Indonesia dalam organisasi regional seperti IORA dan ASEAN membutuhkan kekuatan maritim yang mampu mendukung stabilitas kawasan. Semua ini menunjukkan bahwa transformasi ini bukan hanya soal meningkatkan kemampuan militer, tetapi juga memenuhi kebutuhan strategis dan tanggung jawab hukum sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Untuk menjadikan TNI Angkatan Laut sebagai Blue Water Navy yang tangguh, aspek teknis dan operasional kapal harus luar biasa canggih. Pertama, kapal besar seperti kapal induk atau fregat kelas berat membutuhkan sistem propulsi modern, seperti turbin gas atau bahkan nuklir, agar bisa bergerak efisien di lautan lepas. Desain hidrodinamisnya dirancang agar hemat energi, dan teknologi seperti Integrated Electric Propulsion (IEP) serta stealth hull design membantu kapal bergerak lebih efisien sekaligus sulit terdeteksi musuh. Di sisi teknologi elektronika, kapal ini dilengkapi radar supercanggih seperti Active Electronically Scanned Array (AESA) untuk mendeteksi banyak target sekaligus, serta Combat Management System (CMS) yang memungkinkan koordinasi serangan dengan presisi tinggi. Senjata-senjatanya pun bukan main---ada rudal balistik, torpedo otomatis, dan sistem pertahanan udara yang mampu menangkal ancaman dari segala arah. Selain itu, kru yang bertugas di kapal ini juga jadi perhatian utama. Desain kapal memastikan kenyamanan mereka selama misi panjang, dengan pengendalian kelembapan, akustik yang tidak bising, serta fasilitas kesehatan dan psikologis yang mendukung. Semua ini bertujuan agar kapal bisa menjalankan misi global dengan efektif dan kru tetap prima selama bertugas.
Indonesia berada di posisi strategis di jalur perdagangan global seperti Selat Malaka, yang artinya kita punya tanggung jawab besar menjaga stabilitas maritim di kawasan ini. Tapi, ada ancaman nyata seperti grey zone operations, yaitu aktivitas mencurigakan yang dilakukan aktor negara atau non-negara tanpa memicu perang terbuka---contohnya, aktivitas militer Tiongkok di Laut Natuna Utara. Untuk menghadapi ini, kita butuh angkatan laut yang lebih proaktif dan mampu beroperasi jauh dari perairan domestik, alias Blue Water Navy. Dengan kekuatan ini, Indonesia bisa mengamankan titik-titik penting seperti Selat Malaka yang menjadi jalur vital perdagangan, mendukung operasi internasional seperti misi penjaga perdamaian, dan melindungi kepentingan energi negara, terutama jalur impor minyak dan gas yang kita butuhkan dari luar negeri. Jadi, ini bukan hanya soal menjaga laut, tapi juga melindungi ekonomi dan pengaruh strategis kita di dunia.
Untuk menjadikan TNI AL sebagai Blue Water Navy yang andal, kita menghadapi beberapa tantangan besar, tapi ada juga solusi yang jelas. Pertama, anggaran pertahanan harus ditingkatkan agar pembangunan kapal besar dan modern bisa dilakukan lebih cepat, terutama dengan memperkuat galangan kapal dalam negeri seperti yang dikelola PT PAL Indonesia. Kemudian, kerja sama internasional sangat penting, misalnya dengan Rusia yang menawarkan alih teknologi dan pengadaan kapal canggih. Namun, kerja sama ini harus diatur dengan perjanjian yang memastikan transfer teknologi benar-benar terjadi, seperti melalui joint production agreements. Selain itu, regulasi dalam negeri juga perlu diperbarui untuk mendukung investasi di sektor teknologi maritim dan memastikan rantai pasok material strategis berjalan lancar. Intinya, transformasi ini adalah kebutuhan strategis untuk menghadapi tantangan masa depan, dan keberhasilannya tergantung pada pendekatan hukum yang komprehensif, investasi teknologi, serta kerja sama internasional yang cerdas. Semua langkah ini harus berjalan seiring dengan efisiensi teknis dan keberlanjutan operasional agar Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam stabilitas regional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H