Lihat ke Halaman Asli

Pena Kusumandaru

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

Ketika Hukum Internasional "Tersandung": Netanyahu Dibidik ICC, AS dan China Saling Tuding

Diperbarui: 25 November 2024   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PM Israel Benjamin Netanyahu (dok. Ohad Zwigenberg/Pool via REUTERS Purchase Licensing Rights)

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC) adalah lembaga hukum internasional yang didirikan berdasarkan Rome Statute tahun 1998. Pengadilan ini memiliki yurisdiksi untuk mengadili empat kategori utama pelanggaran berat, yaitu: genocide sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Rome Statute, kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai Pasal 7, kejahatan perang berdasarkan Pasal 8, dan kejahatan agresi yang diatur dalam Pasal 8 bis. Dalam kasus yang melibatkan Netanyahu, ICC menuduhnya melakukan kejahatan perang berupa penggunaan kelaparan sebagai taktik perang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8(2)(b)(xxv), serta berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7(1)(a), Pasal 7(1)(h), dan Pasal 7(1)(k).

Tuduhan mengenai penggunaan kelaparan sebagai metode perang merujuk pada kebijakan blokade di Jalur Gaza yang menyebabkan terhambatnya akses penduduk sipil terhadap kebutuhan dasar. Tindakan ini dinilai melanggar ketentuan hukum humaniter internasional, khususnya Pasal 54 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, yang secara tegas melarang penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap penduduk sipil. Selain itu, tuduhan pembunuhan dan penganiayaan terkait dengan jatuhnya korban sipil selama operasi militer. Hal ini dianggap melanggar prinsip dasar hukum internasional yang mengatur perlindungan terhadap non-kombatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa, yang mengharuskan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk membedakan secara jelas antara kombatan dan penduduk sipil.

Israel dan Amerika Serikat bukanlah pihak pada Rome Statute, sehingga secara langsung tidak terikat oleh kewajiban di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC). Namun, ICC tetap memiliki kewenangan untuk menyelidiki kejahatan yang terjadi di wilayah negara anggota, termasuk Palestina, yang sejak 2015 telah menjadi pihak pada Rome Statute dan mengklaim yurisdiksi atas wilayah Gaza. Di sisi lain, meskipun China juga bukan negara anggota ICC, negara ini mendukung upaya global untuk menegakkan keadilan internasional. Namun, China mengkritik standar ganda yang diterapkan Amerika Serikat, yang mendukung tindakan ICC terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin tetapi menolak yurisdiksi ICC terkait kasus Netanyahu.

Kritik terhadap Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC) muncul dari berbagai pihak, termasuk Israel dan Amerika Serikat. Perdana Menteri Israel, Netanyahu, menilai perintah ICC sebagai bentuk anti-Semitisme, sementara Presiden AS, Joe Biden, menyebutnya sebagai tindakan yang "keterlaluan". Kritik ini mencerminkan ketegangan yang telah berlangsung lama antara Israel-AS dan ICC, terutama terkait tuduhan bahwa pengadilan ini kerap dipolitisasi. Di sisi lain, China menyoroti ketidakkonsistenan Amerika Serikat dalam menerima atau menolak yurisdiksi ICC, yang tampaknya dipengaruhi oleh kepentingan strategisnya. Pandangan China ini menekankan pentingnya penerapan hukum internasional yang universal dan bebas dari bias selektif.

Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan tokoh Hamas, Mohammed Deif, atas tuduhan serius yang mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penyanderaan yang terjadi selama serangan 7 Oktober 2023. Langkah ini mencerminkan upaya lembaga tersebut untuk menegakkan keadilan secara komprehensif, tanpa memihak, meskipun baik pihak Netanyahu maupun Hamas sama-sama berpendapat bahwa tindakan mereka sah secara hukum.

Perintah penangkapan dari International Criminal Court (ICC) terhadap Benjamin Netanyahu membawa dampak hukum dan diplomatik yang signifikan, termasuk pembatasan perjalanan internasionalnya, karena negara-negara anggota ICC memiliki kewajiban untuk menangkapnya jika ia berada di wilayah mereka, sesuai dengan Pasal 89 Statuta Roma. Tanggapan global terhadap kasus ini beragam; China, misalnya, memanfaatkan situasi ini untuk menekankan pentingnya kerja sama internasional dan supremasi hukum global, meskipun tetap berhati-hati agar tidak bersikap konfrontatif terhadap Israel. Di sisi lain, kasus ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi hukum internasional dalam menghadapi tekanan geopolitik, terutama dengan resistensi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Israel. Dukungan dari komunitas internasional, termasuk negara-negara seperti China, menunjukkan relevansi moral dan hukum dari langkah ICC, meskipun efektivitasnya dipertanyakan karena keterbatasan yurisdiksi. Prinsip-prinsip yang diatur dalam Statuta Roma dan Konvensi Jenewa menjadi landasan hukum yang kuat bagi tindakan ini, namun keberhasilannya tetap bergantung pada kesediaan komunitas global untuk menerima otoritas ICC secara luas dan mendukung penerapannya secara konsisten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline