Lihat ke Halaman Asli

Pena Kusuma

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

Presiden Kampanye di Hari Libur: Hak Politik atau Etika yang Dipuji?

Diperbarui: 21 November 2024   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dasar hukum dan landasan yuridis mengenai keterlibatan pejabat negara, termasuk presiden, dalam kegiatan kampanye pemilu diatur melalui berbagai regulasi yang memberikan legitimasi dan batasan yang jelas. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, kampanye didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan meyakinkan pemilih melalui penyampaian visi, misi, program, atau citra diri peserta pemilu, sehingga memungkinkan keterlibatan pejabat tinggi negara selama memenuhi persyaratan yang berlaku. Lebih lanjut, Pasal 70 ayat (2) UU Pemilu mensyaratkan pejabat negara yang ingin berkampanye untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara, kecuali kegiatan tersebut dilakukan pada hari libur. Sebagai panduan tambahan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 mengatur mekanisme pengajuan cuti serta menegaskan pentingnya menjaga prinsip netralitas, larangan penggunaan fasilitas negara, dan tidak melibatkan birokrasi dalam mendukung peserta pemilu. Terakhir, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024 mempertegas hak presiden untuk berkampanye asalkan sesuai ketentuan administratif, tidak memanfaatkan fasilitas negara, dan dilakukan pada hari libur, seperti hari Minggu, sehingga tetap selaras dengan kerangka hukum yang ada.

Dalam analisis keputusan Bawaslu terkait dugaan pelanggaran kampanye, lembaga ini memulai penelusuran informasi berdasarkan video yang diunggah pada 9 November 2024 melalui akun Instagram @luthfiyasinofficial. Video tersebut menunjukkan Presiden Prabowo bersama Ahmad Luthfi dan Taj Yasin mengajak warga Jawa Tengah untuk memberikan dukungan. Penilaian terhadap kasus ini melibatkan sejumlah pertimbangan utama, di antaranya waktu pelaksanaan kegiatan yang berlangsung pada hari libur, yaitu Minggu, 3 November 2024, yang sesuai dengan ketentuan Pasal 70 ayat (2) UU Pemilu. Selain itu, tidak ditemukan bukti bahwa fasilitas negara digunakan selama kegiatan berlangsung, dan tidak ada indikasi keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun birokrasi dalam kampanye tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilu, Bawaslu menyimpulkan bahwa kegiatan kampanye presiden yang memenuhi syarat administratif, dilakukan di luar jam kerja, serta tanpa memanfaatkan fasilitas negara adalah sah secara hukum. Dengan demikian, Bawaslu memutuskan bahwa tidak terdapat pelanggaran administratif maupun pidana pemilu dalam kasus ini.

Prinsip netralitas dan kepatutan dalam konteks pemilu menuntut presiden, sebagai kepala negara, untuk menjaga integritas institusi negara dengan tidak menunjukkan keberpihakan. Meskipun secara hukum presiden diperbolehkan berpartisipasi dalam kampanye, terdapat norma kepatutan yang mengharapkan kepala negara membatasi keterlibatan langsung guna mencegah munculnya persepsi bias. Selain itu, Pasal 71 UU Pemilu secara tegas melarang penggunaan fasilitas negara untuk keperluan kampanye. Dalam kasus yang relevan, pelaksanaan kampanye pada hari libur tanpa memanfaatkan fasilitas negara menunjukkan kepatuhan terhadap aturan dan prinsip yang mengatur netralitas dan penggunaan sumber daya negara secara wajar.

Keputusan Bawaslu memiliki dampak signifikan terhadap pelaksanaan pemilu dan pilkada, dengan menetapkan preseden bahwa pejabat negara, termasuk presiden, dapat terlibat aktif dalam kampanye selama mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Namun, hal ini menghadirkan tantangan dalam menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan memastikan bahwa institusi pemerintahan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik. Di sisi lain, konsistensi keputusan Bawaslu dengan regulasi yang ada dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap integritas sistem pemilu. Meski demikian, upaya untuk mengelola persepsi bias politik tetap memerlukan transparansi yang tinggi guna mencegah keraguan terhadap independensi proses demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline