Pangkalan Udara Wuyishan, yang sebelumnya dioperasikan dengan menggunakan jet tempur generasi lama, kini mengalami modernisasi besar dengan penempatan jet tempur siluman generasi kelima J-20. Pesawat ini dirancang untuk menjalankan berbagai misi strategis, termasuk superioritas udara, pengintaian jarak jauh, dan kemampuan menembus sistem pertahanan udara lawan. Dalam konteks geopolitik, lokasi Pangkalan Wuyishan memiliki signifikansi strategis karena berdekatan dengan Pangkalan Udara Kadena, yang merupakan salah satu pusat kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik. Sebagai respons atas perkembangan teknologi militer, Amerika Serikat telah menggantikan armada F-15C/D di Kadena dengan pesawat generasi baru seperti F-22 Raptor dan F-35, mencerminkan komitmennya untuk mempertahankan dominasi udara di wilayah yang semakin kompetitif.
Dari perspektif hukum internasional, pengerahan jet tempur siluman J-20 oleh China ke wilayah udaranya merupakan tindakan yang sah berdasarkan hak kedaulatan negara, sebagaimana dijamin oleh Pasal 2(4) Piagam PBB yang melarang ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas wilayah negara lain. Namun, posisi J-20 yang dekat dengan wilayah udara internasional yang sering digunakan AS dan sekutunya berpotensi memicu ketegangan. Di sisi lain, respons AS melalui pengerahan F-22 Raptor juga dinilai legal selama operasinya terbatas pada wilayah udara Jepang atau wilayah udara internasional, sesuai dengan prinsip kebebasan navigasi udara yang diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 3 Konvensi Chicago 1944. Kehadiran kedua kekuatan militer di wilayah udara internasional tidak melanggar hukum selama tidak ada pelanggaran terhadap wilayah udara negara lain atau tindakan yang dianggap sebagai ancaman langsung. Meski demikian, keberadaan jet tempur generasi kelima ini meningkatkan risiko insiden, seperti pelanggaran wilayah udara, penyadapan, atau konfrontasi di udara, yang dapat melanggar ketentuan Pasal 2(4) Piagam PBB jika dinilai sebagai penggunaan kekuatan secara ilegal. Prinsip serupa dari Pasal 87 UNCLOS, yang mencakup kebebasan udara di atas laut lepas, juga relevan dalam mengatur interaksi udara di wilayah internasional tersebut.
Wilayah Indo-Pasifik, yang dikenal sebagai kawasan strategis sekaligus rawan konflik, menghadapi risiko eskalasi yang semakin besar akibat ketegangan antara China dan Amerika Serikat, terutama terkait isu Taiwan. Pengerahan kekuatan militer seperti jet tempur J-20 oleh China dapat dilihat sebagai respons strategis terhadap potensi intervensi militer AS, sementara doktrin Agile Combat Employment (ACE) menunjukkan kesiapan operasional AS untuk merespons ancaman mendadak di kawasan ini. Klaim China atas Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya juga memperkuat signifikansi langkah ini, di mana prinsip non-intervensi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2(7) Piagam PBB dapat menjadi kerangka hukum yang relevan dalam menilai situasi. Secara keseluruhan, langkah militer ini mencerminkan dinamika geopolitik yang kompleks di kawasan tersebut, dengan potensi implikasi serius terhadap keamanan regional.
Jet tempur J-20 memiliki kemampuan siluman yang ditingkatkan melalui teknologi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan desain aerodinamis yang mendukung superioritas udara. Namun, kemampuannya dalam pertempuran jarak dekat (dogfighting) masih menjadi tanda tanya, terutama jika dibandingkan dengan keunggulan F-22 dan F-35 milik AS, yang menonjol dalam integrasi sensor serta strategi "first look, first shoot, first kill" untuk pertempuran jarak jauh (BVR). Dari perspektif strategis, untuk mengurangi ketegangan, diperlukan peningkatan dialog militer antara China dan AS, misalnya melalui perluasan kerangka Code for Unplanned Encounters at Sea (CUES) ke wilayah udara, serta implementasi Pasal 33 Piagam PBB yang mendukung negosiasi atau mediasi dalam penyelesaian sengketa. Di sisi lain, meskipun pengerahan jet tempur oleh kedua pihak sesuai dengan hukum internasional, pengawasan ketat diperlukan agar situasi ini tidak berkembang menjadi eskalasi konflik. Negara-negara kawasan seperti Jepang dan Korea Selatan juga harus memastikan bahwa operasi militer di wilayah mereka selaras dengan kerangka hukum, termasuk Perjanjian Keamanan AS-Jepang 1960. Secara keseluruhan, dinamika kekuatan besar yang tercermin dalam pengerahan J-20 dan F-22 mencerminkan pentingnya pengelolaan risiko yang hati-hati untuk menjaga stabilitas di Indo-Pasifik yang strategis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H