Latihan militer terbaru Taiwan yang diselenggarakan oleh Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) mencerminkan strategi militer dan geopolitik China untuk mencegah intervensi Amerika Serikat (AS) dalam potensi konflik di Selat Taiwan. Fokus latihan ini adalah pada pengembangan kemampuan area denial atau penolakan wilayah, yang bertujuan untuk menghalangi akses dan kehadiran AS serta sekutunya di wilayah konflik, terutama di sekitar Taiwan. Pendekatan ini sesuai dengan prinsip bahwa China ingin mengontrol penuh Taiwan sambil menantang dominasi AS di kawasan Indo-Pasifik.
Dari sudut pandang hukum internasional, Taiwan diakui sebagai bagian dari China berdasarkan Prinsip Satu China yang diakui dalam berbagai perjanjian seperti Komunike Shanghai (1972) dan Tiga Komunike Bersama antara AS dan China, yang menyatakan bahwa AS mengakui hanya ada satu China dan Taiwan adalah bagian dari China. Pasal-pasal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) juga relevan, karena mengatur hak lintas kapal militer dan blokade di wilayah laut internasional. Tindakan PLA yang melibatkan blokade pelabuhan Taiwan dapat dilihat sebagai potensi pelanggaran hukum laut internasional, terutama jika PLA memblokade jalur perdagangan internasional.
Menurut Pasal 301 UNCLOS, negara-negara berhak menggunakan wilayah laut internasional untuk lintas damai, dan blokade dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan navigasi dan perdagangan internasional. Pasal 51 Piagam PBB juga menyebutkan hak pertahanan diri yang dapat diaktifkan oleh Taiwan jika ada serangan langsung, yang berimplikasi pada keterlibatan AS dan sekutunya melalui perjanjian keamanan tidak resmi seperti Taiwan Relations Act (1979).
Latihan Joint Sword-2024B yang dilakukan oleh PLA menunjukkan penggunaan kekuatan angkatan darat, laut, udara, serta pasukan roket. Penggunaan kelompok kapal induk Liaoning dan pengerahan rudal balistik antikapal menunjukkan niat Tiongkok untuk menegakkan Anti-Access/Area Denial (A2/AD). Tiongkok juga menggunakan kapal penjaga pantai besar, termasuk "kapal monster" berbobot 12.000 ton, sebagai bagian dari blokade maritim, menunjukkan kemampuan Tiongkok untuk memutus jalur suplai internasional dan menghentikan pengiriman senjata AS ke Taiwan.
Menurut laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), ada tiga skenario potensial blokade Taiwan oleh PLA. Pertama, Blokade Kinetik Habis-Habisan di mana PLA memblokade pelabuhan utama Taiwan, menyerang infrastruktur vital, dan memutuskan kabel internet bawah laut, langkah berat yang membuat Taiwan rentan selama negosiasi. Kedua, Blokade Penambangan yang melibatkan penggunaan ranjau laut dan rudal balistik untuk mengintimidasi Taiwan dan mencegah intervensi asing. Ketiga, Blokade Terbatas yang hanya melibatkan sebagian tindakan blokade tanpa penggunaan ranjau laut. Latihan militer PLA dan sinyal geopolitik yang dikirimkan kepada AS menunjukkan bahwa Tiongkok sedang meningkatkan kemampuan militernya, yang semakin sulit dihadapi oleh AS. Shen Yi dari Universitas Fudan mencatat bahwa tujuan latihan ini adalah menyamai atau bahkan melampaui kemampuan tempur gabungan AS, terutama dalam angkatan laut dan udara.
Tanggapan AS terhadap latihan militer yang dilakukan oleh Tiongkok di Taiwan, disampaikan oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller, mencerminkan kekhawatiran mendalam dengan menyebut latihan tersebut "tidak beralasan" dan "berisiko meningkat." Namun, tanggapan AS terbatas pada pernyataan diplomatik yang meminta Tiongkok menahan diri. Taiwan Relations Act, meski tidak menjamin intervensi militer langsung, memberikan kerangka hukum bagi AS untuk mendukung Taiwan, termasuk penjualan senjata dan bantuan pertahanan. Dari sisi Taiwan, Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan menyatakan kesiagaan penuh menghadapi latihan militer dengan mengerahkan pasukan di laut dan udara. Presiden Taiwan, Lai Ching-te, menekankan pentingnya mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah Taiwan menghadapi provokasi dari Tiongkok.
Latihan Joint Sword-2024B menggarisbawahi dinamika strategis di Selat Taiwan dengan fokus pada kemampuan PLA dalam menolak intervensi militer asing, terutama dari Amerika Serikat. China secara hukum menggunakan argumen kedaulatan nasional di bawah prinsip satu Tiongkok untuk membenarkan tindakannya, meskipun tantangan hukum internasional terkait kebebasan navigasi dan blokade maritim tetap signifikan. Tindakan PLA menunjukkan eskalasi militer yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut di wilayah tersebut, dengan intervensi AS kemungkinan besar terbatas pada sanksi diplomatik atau dukungan militer tidak langsung. Hal ini menjadi perkembangan penting dalam perimbangan kekuatan militer di kawasan Indo-Pasifik, dengan potensi implikasi jangka panjang bagi perdamaian dan stabilitas global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H