Lihat ke Halaman Asli

Pena Kusuma

Mahasiswa Fakultas Hukum

CIA di Balik Kudeta Soekarno: Intervensi AS dan Dampaknya bagi Indonesia

Diperbarui: 14 Oktober 2024   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Fuad Hasyim/detikcom

Intervensi CIA di Indonesia pada era Sukarno, terutama melalui Gerakan Permesta dan operasi rahasia lainnya, merupakan peristiwa penting dalam sejarah geopolitik Perang Dingin yang membawa implikasi hukum dan politik yang signifikan. Dari perspektif hukum internasional dan nasional Indonesia, intervensi asing semacam ini menimbulkan masalah terkait kedaulatan, hak atas non-intervensi, serta pelanggaran terhadap hukum internasional yang mengatur hubungan antarnegara.

Dari perspektif hukum internasional, intervensi CIA di Indonesia bertentangan dengan prinsip non-intervensi dalam urusan domestik negara berdaulat, yang merupakan salah satu pilar utama Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pasal 2(4) Piagam PBB dengan jelas menyatakan bahwa "Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun, atau dengan cara apa pun yang tidak sesuai dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa." Dengan demikian, operasi rahasia yang dilakukan oleh CIA, termasuk pemberian dukungan militer kepada kelompok pemberontak dan upaya kudeta, melanggar integritas teritorial Indonesia dan hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan asing. Operasi ini juga bertentangan dengan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antara Negara-negara yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2625 (XXV) tahun 1970, yang menegaskan pentingnya menghormati kedaulatan dan prinsip non-intervensi.

Dari perspektif hukum nasional Indonesia, tindakan pihak asing yang mendukung kelompok pemberontak melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, terutama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara." Dukungan CIA terhadap pemberontakan Gerakan Permesta secara langsung melanggar prinsip-prinsip pertahanan nasional yang diatur dalam konstitusi. Selain itu, pemberontakan yang didukung oleh kekuatan asing dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 106, yang menyatakan bahwa "Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah tersebut, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun." Oleh karena itu, Gerakan Permesta yang mendapatkan dukungan dari CIA secara hukum dapat dikategorikan sebagai makar, yang dalam konteks ini mendapatkan bantuan asing, sehingga melanggar hukum pidana Indonesia.

Dari sudut pandang geopolitik, intervensi AS melalui CIA di Indonesia pada era Sukarno merupakan bagian dari kebijakan containment yang diadopsi AS untuk menghadapi penyebaran komunisme selama Perang Dingin. Kepemimpinan Sukarno yang condong ke blok Timur, terutama setelah keterlibatan dalam Konferensi Bandung yang menandai berdirinya Gerakan Non-Blok, membuat AS melihat stabilitas politik Indonesia sebagai elemen kunci dalam teori domino. Teori ini menyatakan bahwa jatuhnya satu negara di Asia Tenggara ke komunisme akan memicu efek domino di negara-negara tetangganya. Pemerintahan Eisenhower menggunakan justifikasi ini untuk mendukung operasi rahasia yang bertujuan menggulingkan Sukarno dan menggeser orientasi politik Indonesia ke arah blok Barat. Namun, upaya ini berakhir dengan kegagalan ketika operasi CIA yang mendukung pemberontakan Permesta terungkap, termasuk penangkapan pilot B-26, Allen Lawrence Pope. Insiden ini mempermalukan AS di mata internasional dan menegaskan kemandirian Indonesia dalam menghadapi intervensi asing.

Dari perspektif hukum internasional, meskipun AS tidak langsung menghadapi sanksi atas intervensinya, tindakan tersebut memperburuk ketegangan diplomatik antara kedua negara dan merusak citra AS sebagai negara yang melanggar prinsip non-intervensi. Secara teoritis, intervensi ini dapat digugat di forum internasional seperti Mahkamah Internasional atas dasar prinsip kedaulatan negara. Namun, dalam praktiknya, negara-negara jarang menempuh jalur hukum formal untuk menangani intervensi semacam ini karena pertimbangan politik dan diplomatik.

Berdasarkan prinsip hukum internasional, tindakan CIA di Indonesia dianggap melanggar kedaulatan dan prinsip non-intervensi. Dari perspektif hukum nasional, dukungan terhadap pemberontakan seperti Permesta bisa dikategorikan sebagai tindak pidana makar. Dari sisi geopolitik, operasi ini merupakan bagian dari kebijakan AS untuk menghalangi penyebaran komunisme di Asia Tenggara, namun akhirnya mempermalukan AS di panggung internasional. Hal ini menunjukkan betapa rentannya negara-negara berkembang terhadap dinamika politik global selama Perang Dingin, di mana intervensi asing sering kali melanggar batas-batas hukum yang berlaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline