Jika Indonesia memutuskan untuk membeli Su-35 dari Rusia, ada beberapa konsekuensi hukum dan geopolitik yang perlu diperhatikan. Ini termasuk kemungkinan transfer teknologi dan metode pembayaran yang melibatkan komoditas ekspor. Langkah ini merupakan bagian dari strategi Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya di pasar jet tempur Asia Tenggara, terutama di tengah tekanan dari Amerika Serikat dan sekutunya.
Dalam konteks hukum, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) oleh Indonesia, termasuk jet tempur Su-35, harus mematuhi ketentuan Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pasal 43 UU ini menetapkan bahwa pengadaan alutsista dari luar negeri hanya diperbolehkan jika industri pertahanan dalam negeri belum mampu memproduksinya dan harus disertai dengan upaya alih teknologi. Selain itu, pengadaan tersebut harus melibatkan kerja sama antara pemerintah dan penyedia alutsista asing untuk transfer teknologi dan peningkatan kemampuan industri pertahanan nasional. Jika Rusia bersedia melakukan transfer teknologi sebagai bagian dari kesepakatan pembelian Su-35, hal ini akan sejalan dengan ketentuan Pasal 43. Rusia juga menunjukkan fleksibilitas dalam bentuk pembayaran, termasuk menggunakan komoditas ekspor Indonesia, sebagai strategi untuk mempertahankan pengaruhnya di pasar Asia Tenggara dan bersaing dengan dominasi Amerika Serikat melalui produk jet tempur seperti F-16 dan F-35.
Namun, pembelian Su-35 oleh Indonesia menghadapi tantangan besar dari perspektif hukum internasional. Sanksi CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanctions Act) yang diberlakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 2017 bertujuan untuk menekan negara-negara yang melakukan transaksi signifikan dengan sektor pertahanan Rusia. Jika Indonesia melanjutkan pembelian Su-35, negara ini berisiko menghadapi sanksi dari AS, termasuk pembatasan akses ke teknologi dan pasar AS, serta dampak negatif pada kerja sama militer dan ekonomi. Situasi ini membuat keputusan pembelian menjadi lebih kompleks karena Indonesia harus mempertimbangkan potensi keuntungan dari transfer teknologi dan kemandirian alutsista dengan risiko sanksi internasional yang dapat merugikan hubungan dengan AS.
Pada tahun 2018, Indonesia hampir menyelesaikan pembelian 11 unit Su-35, namun terhalang oleh ancaman sanksi CAATSA. Kondisi ini menempatkan Indonesia dalam dilema diplomatik, di mana Rusia sangat berharap transaksi ini dapat memperkuat posisi geopolitiknya di Asia Tenggara, sementara Indonesia harus menjaga keseimbangan hubungan dengan kekuatan besar lainnya seperti Amerika Serikat.
Untuk menjaga otonomi strategis dan memperkuat kemampuan pertahanan, Indonesia dapat terus bernegosiasi untuk memperoleh Su-35 dengan cara yang mengurangi risiko sanksi CAATSA. Pemerintah Indonesia perlu melakukan diplomasi intensif dan menyusun strategi mitigasi risiko, termasuk mengembangkan kerja sama pertahanan regional yang lebih luas agar tidak terjebak dalam dinamika geopolitik antara AS dan Rusia. Meskipun Rusia menawarkan berbagai insentif seperti transfer teknologi dan fleksibilitas pembayaran, Indonesia harus mempertimbangkan dengan hati-hati kerangka hukum nasional dan internasional serta implikasi geopolitik terkait pembelian Su-35 agar tidak terjebak dalam konfrontasi antara dua kekuatan besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H