Lihat ke Halaman Asli

Pena Kusumandaru

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

J-20 China: Ancaman Baru bagi Kedaulatan Udara Taiwan dan Dampaknya bagi Geopolitik Asia Timur

Diperbarui: 6 September 2024   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.app.goo.gl/W8Fso5BWGCJBewLj9

Kemungkinan terburuk yang akan dihadapi Taiwan atas pengembangan jet tempur J-20 China dapat melibatkan eskalasi signifikan dalam ketegangan militer di Selat Taiwan dan potensi penggunaan kekuatan udara superior oleh China dalam skenario konflik. Pengembangan J-20, sebagai jet tempur generasi kelima yang dirancang untuk menguasai ruang udara, merupakan ancaman strategis yang dapat menggeser keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut, mengingat kemampuan stealth (siluman) dan teknologi radar canggih yang dimilikinya (Sapuan, 2023).

Pengembangan J-20 secara efektif dapat memperkuat dominasi udara China di sekitar Taiwan, yang secara militer lebih kecil dan dengan keterbatasan sumber daya teknologi dibandingkan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) (Sapuan, 2023). Taiwan sendiri saat ini mengoperasikan pesawat tempur seperti F-16 Viper, Mirage 2000, dan IDF (Indigenous Defense Fighter), yang meskipun modern, masih merupakan jet tempur generasi keempat dan akan sulit menandingi kemampuan stealth dan persenjataan yang dimiliki J-20 (An et al., 2018). Dalam potensi konfrontasi, Taiwan akan menghadapi kesulitan dalam mendeteksi dan menyerang pesawat J-20 sebelum J-20 mencapai target penting di daratan Taiwan.

J-20 juga dapat digunakan sebagai bagian dari strategi Anti-Akses/Area Denial (A2/AD), di mana China dapat memblokir atau membatasi intervensi militer dari sekutu Taiwan, terutama Amerika Serikat (AS) (Ismanto, 2023). Sebagai negara yang mendukung Taiwan berdasarkan Taiwan Relations Act (TRA), AS kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mengerahkan pesawat tempurnya ke wilayah konflik jika China menggunakan J-20 untuk melindungi wilayah udaranya dan menargetkan aset militer AS (Congress.gov, 1980). Berdasarkan Pasal 3 dari Taiwan Relations Act, AS memiliki kewajiban untuk membantu mempertahankan Taiwan. Bunyi pasal tersebut adalah: "The United States will make available to Taiwan such defense articles and defense services in such quantity as may be necessary to enable Taiwan to maintain a sufficient self-defense capability." Jika China menggunakan J-20 dalam kampanye militer, Taiwan akan bergantung pada bantuan militer AS, tetapi dengan kemampuan J-20 yang dapat menantang sistem pertahanan udara AS, efektivitas intervensi AS bisa berkurang secara signifikan.

https://images.app.goo.gl/pLTTEGqQNHZg525CA

Pesawat J-20 dilengkapi dengan teknologi canggih seperti radar AESA (Active Electronically Scanned Array), kemampuan manuver supercruise, dan persenjataan jarak jauh, termasuk rudal udara-ke-udara PL-15 yang memiliki jangkauan lebih dari 300 km (Gaitanakis et al., 2019). Teknologi ini memberikan China keuntungan strategis dalam pertempuran jarak jauh, yang dapat melumpuhkan kemampuan tempur udara Taiwan bahkan sebelum kontak visual terjadi. J-20 juga dapat menargetkan infrastruktur kritis Taiwan, termasuk pangkalan udara, stasiun radar, dan instalasi pertahanan rudal.

https://images.app.goo.gl/ygR43oaWbDgCBnDM8

Kemungkinan terburuk lainnya adalah bahwa pengembangan J-20 dapat memicu balapan senjata yang lebih intens di Asia Timur. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, yang juga merasa terancam oleh modernisasi militer China, kemungkinan akan meningkatkan anggaran pertahanan mereka, mempercepat pembelian dan pengembangan teknologi militer canggih untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih tidak stabil, di mana risiko salah perhitungan atau insiden militer meningkat.

Selain ancaman militer langsung, Taiwan juga menghadapi potensi kerugian ekonomi jika situasi keamanan memburuk akibat kehadiran J-20. Eskalasi konflik dapat mempengaruhi hubungan perdagangan internasional Taiwan, yang sangat bergantung pada ekspor teknologi, serta merusak stabilitas internal Taiwan. Situasi ini bisa menyebabkan kepanikan publik, penurunan nilai mata uang, dan bahkan eksodus modal dari negara tersebut.

https://images.app.goo.gl/5qiyyMPgt1wyfNNs8

Dalam konteks hukum internasional, penggunaan J-20 dalam operasi ofensif melawan Taiwan tanpa adanya provokasi yang sah dapat dianggap sebagai pelanggaran Pasal 2(4) Piagam PBB, yang menyatakan: "All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations." Namun, China secara konsisten mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya, sehingga dalam persepsi pemerintah China, penggunaan kekuatan terhadap Taiwan bisa dianggap sah dalam kerangka hukum domestik mereka (PBB, 1945).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline