BAHASA SEBAGAI ALAT UNGKAPAN KESADARAN REFLEKTIF
Adriansyah A. Katili
adriansyahkatili@ung.ac.id
Selama ini bahasa lebih dikenal sebagai media komunikasi. Sebagai media komunikasi, bahasa memediasi dua orang yang saling mengirim pesan. Ketika dua orang sedang berbicara,mereka sedang menyampaikan pesan kepada pendengar melalui bunyi-bunyi bahasa yang mengandung makna. Pendengar kemudian mengartikan pesan itu.
Namun bahasa ternyata berperan lebih dari sekedar media komunikasi. Bahasa bisa menjadi ekspresi perasaan, baik perasaan bahagia, senang, sedih, marah, dan perasaan lainnya. Bahasa juga bisa menjadi alat ungkapan kesadaran reflektif manusia.
Apa itu kesadaran reflektif? Kesadaran reflektif adalah kesadaran manusia yang dikemukakan oleh seorang filsuf beralirang eksistensialisme dan berkebangsaan Prancis, Jean Paul Sartre. Namun sebelum membahas kesadaran reflektif, ada baiknya saya membahas dulu hakekat filsafat eksistensialisme.
Sebagaiman diketakan di atas, filsafat eksistensialisme keajarkan oleh filsuf bernama Jean Paul Sartre. Filsafat membahas hakekat keberadaan manusia. Eksistensialisme berasal dari kata eksis, atau berada. Menurut filsafat ini, ada terdiri dari dua jenia, yaitu Yang pertama adalah ada dalam dirinya atau L’Etre-en-soi. Ada jenis ini adalah ada yang tidak memiliki kesadaran, dia cukup berada dan tidak memerlukan apa-apa. Yang memiliki ada jenis ini adalah benda mati atau non-manusia, misalnya kursi, meja, rumah, dll.
Ada jenis kedua adalah ada bagi dirinya atau L’etre-pour-soi. Ada jenis ini adalah ada yang lebih tinggi dari ada yang pertama. Ada jenis ini disertai kesadaran, kesadaran sebagai individu. Individu yang hadir di dunia. Ada jenis ini memerlukan energi untuk bertahan, maka dia butuh makan, minum, ada jenis ini dimiliki oleh manusia.
Ada jenis kedua disertai kesadaran, maka Sartre membagi kesadaran menjadi dua. Kesadaran yang pertama adalah kesadaran non-reflektif. Kesadaran non-refelektif adalah kesadaran tingkat rendah. Kesadaran ini tidak disertai refleksi diri, tentang makna keberadaan. Dia hanya sadar bahwa dia ada, tapi tidak ada refleksi tentang mengapa dia ada, untuk apa dia ada, apa hubungan ada-nya dengan yang lain.
Kesadaran kedua adalah kesadaran reflektif. Kesadaran ini lebih tinggi daripada kesadarang yang pertama. Kesadaran ini disertai refleksi diri, tentang makna keberadaan. Dia sadar sebagai bagian dunia, sebagai subyek sekaligus obyek. Sebagai subyek dia bisa memperngaruhi dunia, sebagai obyek di juga dipengaruhi dunia. Dia adalah subyek bagi obyek individu lainnya dan sebaliknya.
Sebagai individu, dia memiliki kebebasan. Maka dalam hubungannya dengan dunia dan individu lainnya, dia mempertahankan kebebasannya ini dinarasikan oleh Sartre seperti orang yang berjanji dengan seseorang untuk bertemu di suatu taman untuk keperluan bisnis. Orang itu datang menepati janjinya, dia datang ke taman itu. Namun ternyata orang yang berjanji tidak datang. Pada saat itu timbul kesadaran yang bersifat reflektif tentang mengapa dia berada di taman itu, dan hubungannya dengan individu lain yang telah berjanji dengannya. Dia menjadi subyek yang datang ke taman itu sebagai sekaligus sebagai obyek dari penjanjian. Sebagai obyek, dia terkena dampak dari perjanjian itu.
Kesadaran jenis kedua ini hanya dimiliki oleh manusia. Manusia satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran dan mampu mereflekasika kesadarannya itu. Makhluk lain, semisal hewan tak mampu berkesadaraan, apalagi kesadaran refelktif.
Sartre juga membahas manusia yang sebagai makhluk berkesadaran reflektif menghadapi subyek lain yang mengancam eksistensinya. Ini diungkapkan oleh Sartre sebagai being and nothingness. Individua tau subyek lain yang mengancam eksistensi manusia sebagai makhluk yang berkesadaran reflektif menghadapi ancaman subyek lain yang menjauhkannya dari ada atau being menjadi tiada atau nothingness. Dengan kata lain manusia sering mengalami pengalaman atau menghadapi situasi di mana terjadi tarik menarik antara being and nothingness.