/1/
Jacatra, nama kecilku. Gadis belia bernadi Ciliwung. Berjantung paru Sunda Kelapa. Memesona seanggun tunjung biru.
Akulah pujaan Wijayakrama. Kekasih beraga Kresna berjiwa Wisnu. Kekasih yang menahtakanku sebagai cakra di pucuk mahkota.
Ambang akil balik, aku ditawan para serdadu mata biru. Harga diriku terkoyak-moyak. Darahku menetes di jantung kota.
Sungguh nasibku serupa peony yang terinjak kaki bersepatu lars. Semalang pesakitan, aku terpuruk di sudut bui. Lembab, pengap, dan gelap.
/2/
Batavia ya Batavia, namaku kemudian. Nama yang menandaiku sebagai gundik Kumpeni. Perempuan yang dimuliakan dengan kaki terpasung.
Senorak jalir, wajahku tersaput bedak. Seanggun noni-noni, tubuhku bergaun satin. Namun, jiwaku meradang sepanjang malam. Melolong serupa serigala di bawah bulan meranggas.
Angin menyampaikan kabar datangnya Raja Agung. Maka aku gantang harapan ujung kemarau pada hujan pertama. Di saat Ciliwung meluapkan banjir darah sampah bangkai, aku serasa hanyut ke dasar palung maut.
Tersayat-sayat hatiku seusai mendengar berita kematian ribuan prajurit rucah. Konon mereka serupa pion-pion di atas papan catur. Berkaparan di antara kaki raja yang berlindungkan dua benteng.