Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Bulan yang Terlepas dari Rengkuhan

Diperbarui: 25 Agustus 2024   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://id.pngtree.com

Perjalanan cinta Pras terbilang kelabu. Awal  mengenal cinta monyet, ia diputus Wulan. Ia meratapi nasibnya ketika Wulan mengalihkan cintanya pada Bram. Kakak kelasnya yang lebih ganteng, pintar, kaya orang tuanya, dan punya masa depan cerah.

Lantaran ulu hatinya serasa tergores silet, Pras takut jatuh cinta sejak SMA hingga tercatat sebagai mahasiswa filsafat di universitas ternama di kotanya. Sungguhpun Asti, kawan sefakultasnya yang berwajah imut menyalakan lampu hijau, ia tak menggubrisnya. "Maaf, Asti. Aku tak bisa mencintaimu. Aku tak bisa mencintai wanita selain Wulan. Lebih baik aku menutup pintu cinta," bantinnya.

Seusai mendapat gelar sarjana filsafat, Pras bertahan sebagai bujangan anti cinta. Baginya, cinta serupa ular yang menelan mangsa sebelum sembunyi ke sarangnya. Karenanya, ia selalu teringat Wulan ketika bertemu seekor ular.

***

Ambang usia kepala tiga, Pras masih sendirian. Ia menolak saran teman-temannya untuk memacari gadis lain. Ibunya pula menyarankan agar Pras segera menikah. Biar ia cepat menggendong cucu yang akan menyempurnakan statusnya sebagai nenek.

Pras berkepala batu. Saran kawan-kawan dan ibunya hanya dianggap angin yang melintas tanpa meninggalkan jejak. Ia bersikukuh untuk hidup melajang. Menghabiskan masa lajangnya untuk menulis buku-buku filsafat best seller.

Siang malam, Pras tak pernah memikirkan perempuan. Tak ada yang dikerjakan, selain mengunjungi tempat-tempat senyap. Merenungkan kesejatian dari segala yang tampak hingga tak kasat mata. Menyampaikan buah renungannya pada pada orang-orang yang mau berpikir.

Merasa lelah mengembara serupa burung tak bersangkar, Pras pulang untuk tinggal di rumah. Di ruang kerja, ia menuangkan gagasan-gagasan filosofi ke dalam bukunya. Namanya mulai berkibar serupa bendera di halaman sekolah setiap hari Senin dan hari besar kenegaraan.

***

Dengan segepok uang, Pras membeli laptop baru di toko komputer. Sejak itu, ia rajin mendatangi kafe. Di antara orang-orang yang menikmati minuman pilihan mereka, ia duduk di bangku paling sudut. Menulis buku filsafat sampai kafe tutup selepas larut malam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline