Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Sawitri Ingin Bunuh Diri

Diperbarui: 23 Agustus 2024   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://jabarekspres.com

"Sawitri," akunya. Perempuan paruh baya yang meninggalkan kota seusai suaminya mati lantaran kecelakaan lalin di jalan tol. Di desa terpencil, ia tinggal di rumah tabon milik mendiang bapaknya. Bila teringat ayah dan suaminya, wajahnya senampak matahari berselimut awan. Bertanya pada Tuhan, "Ya, Allah. Kenapa cepat Kau panggil orang-orang yang teramat aku cintai?"

Sawitri bangkit dari kursi kayu. Berdiri di balik jendela terbuka. Menatap sungai yang mengalir jernih. Teringat semasih kanak. Mandi bersama kawan-kawan sebayanya sambil bermain air. Tersenyum tipis.

Mata Sawitri sembab selagi terbayang wajah ketiga anaknya di perantauan yang jarang mengirim kabar, lantaran ponselnya tak bisa meng-install WA. Demi memenuhi keinginan anak-anaknya, ia pergi ke kota. Menjual kalung emas warisan mendiang suaminya. Dari uang itu, ia membeli android bekas.

Usai seharian bekerja di ladang warisan mendiang bapaknya; Sawitri video call-an dengan ketiga anaknya, menantu, dan cucu-cucunya. Belum sebulan berpelukan dengan rasa bahagia, ia tampak murung. Si sulung Pras yang mengikuti seminar di ibukota tewas karena serangan jantung.

Sawitri mulai dapat melupakan meninggalnya Pras. Terlebih saat ia mendapat kabar dari Santi yang melahirkan anak ketiganya. Hatinya berbuncah-buncah usai anak keduanya itu mengirim foto buah hatinya semirip Pras. "Pras lahir kembali di dunia lewat pintu rahim adiknya. Tuhan Maha Besar!"

Mendadak Sawitri berduka usai membaca pesan WA dari Santi, "Menantu Emak. Mas Bram meninggal ketika pesawat yang ditumpanginya menabrak gunung...." Selagi membalas pesan WA dari Santi, air mata membasahi kedua pipinya yang berkeriput.

Hingga dua bulan, Sawitri tak mengawatirkan nasib Santi. Mengingat Santi masih bisa menghidupi anak-anaknya dengan tabungan mendiang suaminya. Menginjak bulan ketiga, Santi mulai hutang sana sini untuk menyambung hidup anak-anaknya. Bulan keempat, Santi diburu dept collector. Bulan kelima, Santi menggantung diri di dapur.

Mendengar Santi bunuh diri, Sawitri pingsan. Usai siuman, androidnya berdering. Ia membaca pesan WA dari bungsunya, Sam. "Jangan gundah, Mak! Seluruh anak Mbak Santi akan aku rawat sampai bisa mandiri."

Sawitri lega. Namun pada penghujung tahun, ia merasa cemas tiada tara. Berita tentang penyakit aneh yang lebih ganas dari Covid 19 disaksikannya lewat televisi. Wabah itu bukan hanya membunuh jutaan manusia di dunia, namun puluhan warga di kampungnya. Akibatnya, ia diisoma. Nasibnya lebih buruk dari seorang napi. Dipenjara di rumahnya sendiri.

Selama isoma, Sawitri hanya menghabiskan waktu di depan televisi. Menyaksikan berita hanya membuatnya semakin bosan tinggal di dalam rumah. Menyaksikan sinetron, tak menghibur hatinya. Menyaksikan produk-produk yang diiklankan, tak terjangkau harganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline