Dalam mimpi Baim, langit yang runtuh telah meluluhlantakkan rumah warisan bapaknya. Seorang pejuang yang gugur saat menyerbu pasukan Nipon di batas kota.
Sesudah badai sembilanbelas, harapan Baim untuk bertahan hidup dengan layak bersama keluarganya telah pupus. Bagaimana tidak? Ia yang hanya seorang buruh pabrik tekstil itu telah dirumahkan tanpa sepeser pesangon. Betapa malang lakon hidup yang dijalaninya.
Selepas subuh, Baim dibangunkan Sumi istrinya. Dengan mata serasa masih terpulut, ia mengikuti perintah Sumi untuk menemui seseorang. Hanya mengenakan sarung dan kaos putih kumal, ia menuju ruang tamu. Di mana, Gaper duduk di kursi bambu tua dengan pandangan seekor burung hantu.
"Oh.... Bang Gaper! Tumben, datang ke rumah sepagi ini? Apa hendak menyampaikan kabar duka bila ada tetangga yang meninggal karena Covid?"
"Benar!" Gaper menjawab dingin. "Ada yang akan meninggal."
"Hah? Siapa, Bang?"
"Bungsuku. Dia pasti meninggal karena demamnya sangat tinggi...."
"Kasihan!"
"Bila kau iba pada anakku, lunasi seluruh hutangmu tiga bulan lalu!"
"Maaf, Bang. Aku belum punya uang."