Puisi merupakan salah satu genre sastra yang digubah penyair untuk melukiskan penglaman empirik puitiknya. Selain itu, puisi bisa dijadikan media untuk mengekspresikan gagasan yang bersumber dari suasana hati, kesadaran, respons eksternal, hubungan kosmis, dll.
Di dalam menciptakan puisi, penyair selalu memerhatikan aspek bentuk dan isi. Bentuk puisi yang bersifat eskplisit meliputi: tipografi, diksi, gaya bahaya, simbol, dll. Sedangkan, isi yang bersiat implisit ditangkap sebagai makna (pesan) yang disampaikan penyair pada pembaca. Diumpamakan manusia, bentuk puisi identik raga. Isi identik jiwa.
Dari pemahaman tersebut, penulis sepakat dengan pendapat Iman Budhi Santosa (IBS) bahwa puisi yang bersifat metafisis tidak dapat dituliskan, melainkan diciptakan. Sebab itu, beliau yang telah tinggal di alam keabadiannya selalu menyebut mencipta puisi, bukan menulis puisi.
Dalam mencipta puisi, penyair selalu menyadari bahwa ia tidak sedang menulis berita. Ia sadar bahwa mencipta puisi tidak mewartakan gagasan, melainkan melukiskannya. Sehingga dalam memahami puisi yang sarat simbol, metafor, dan filosofi; pembaca perlu menginterpretasi. Menafsir makna yang tersirat pada setiap diksi, gatra, bait, dan keutuhan puisi.
Bagi penyair yang sampai pada tataran pemahaman substansi puisi tidak akan mencipta karya reportatif. Setiap karyanya yang dapat membangkitkan imaji dan memerluas ruang interpretasi pembaca akan menjadi pertimbangan utama.
Di lingkup kehidupan sastra, kita dapat menjumpai banyak penyair yang telah katam dalam mencipta puisi. Mereka tidak hanya penyair pria, namun juga penyair wanita. Salah satu penyair wanita yang bertebaran karya-karyanya di media cetak dan media sosial adalah Yanwi Mudrikah.
Sebagai penyair, Yanwi telah mampu membangkitkan imaji dan memberi ruang interpretasi pembaca karya-karyanya. Beberapa karyanya yang layak mendapat apresiasi, di antaranya: Mengeja Hari Mengulang Waktu, Gerbong Nomer Tujuh, Seperti Lonceng-Lonceng, Hujan di Tengah Malam, Ketika Rindu Harus Diulang, Mawar Merah dan Surat Cinta, dll.
Pada puisi Mawar Merah dan Surat Cinta, Yanwi bukan sekadar mewartakan hubungan kedua kata benda itu. Melalui puisi tersebut, ia ingin menyampaikan gagasannya bahwa peristiwa satu (hujan) mengakibatkan peristiwa lain (kelopak mawar merah berguguran). Hujan yang menyimbolkan anugerah Tuhan belum tentu selaras doa yang dipanjatkannya. Sungguhpun demikian, hujan malam hari yang dimaknai sebagai akhir kegelapan (kedukaan) adalah ambang keterangbenderangan fajar (kegembiraan).
Mawar Merah dan Surat Cinta
kemarin turun hujan
membuka-buka surat cinta