Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Balada Indie

Diperbarui: 4 Juli 2024   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/sekilas-tentang-perempuan-perempuan-hebat-pada-masa-klasik-nusantara/

Indie, nama seksiku. Perempuan dengan sejarah panjang. Sejak bapak-ibuku serupa pulau-pulau yang dinikahkan pada tujuhpuluh delapan tahun silam. Perempuan yang hanya bengong. Ketika kedua orang tuanya yang bertikai enggan melafalkan talak di depan meja pengadil. Itu demi keutuhan cinta. Tebing karang yang tangguh oleh gempuran gelombang. Serangan badai hurikan katrina yang dikirim dari negeri seberang.

Masa bocah, aku senasib anak tiri di pelukan ayah-ibuku. Tak seperti noni-noni di zaman kolonial yang melampaui putri raja. Dininabobokan dayang-dayang di ayunan. Tidur berbantal bulan di bawah langit-langit bertabur bintang. Hari-hari mereka hiasi nyanyian di dalam loteng kedap suara. Hingga tuli pada tangisku. Buta pada air mataku yang menjadi bah. Membelah tanah Indus.

Sebagaimana benih yang ditanam di ladang retak-retak pada musim kemarau panjang. Aku ikuti jejak ayahku. Dengan bambu runcing, ia memagari nyawa dari serbuan peluru-peluru. Berkaca pada potret ibuku. Menjaga mahkota dengan tusuk kondhe atas jarahan gerombolan orang kerdil yang akan menjadikanku Karayuki-San. Pantang berperan Fientje de Feniks di panggung bordil kesekian kalinya.

Usai keributan ayah-ibuku yang berebut kuasa di rumah sendiri, aku senasib petualang di lambung hutan berkabut. Serupa nahkoda tak berkompas yang terombang-ambing di pusar lautan. Hingga camar mengabarkan bahwa kemerdekaan hanya membuka gelanggang pertarungan. Hingga, mereka tak abai cericit anak ayam yang kehilangan induknya. Tak pedulikan nasibku yang alpa delapan mata angin. 

Tanpa terompah dan penopang; aku mendaki puncak bukit terjal. Di mana Merah Putih dikibarkan sejak zaman Soekarno. Zaman orang-orang berserempang pahlawan dengan rajah up and down di dada. Setiap seribu kali jatuh, seribu satu kali bangkit kembali. Digembleng hampir hancur lebur, bangun kembali. Digembleng hampir hancur lebur, bangun kembali. Digembleng hampir hancur lebur, bangun kembali.

Akulah Indie. Cemara beristana di puncak bukit. Tumbuh di tanah liat di antara bebatuan sebesar liman. Perempuan berjiwa Tetuka yang matang ditimang matahari, tofan, dan udara musim bedhidhing. Sebagai rajawali berperisai Pancasila di jantungnya. Benteng ribuan nusa. Pelindung suku-suku yang serupa ribuan warna bunga dalam satu taman. Hingga, negeriku diamini sebagai poros bumi. Satu-satunya kiblat mata jauh merengkuh.

Yogyakarta, 2024

Catatan:

Badai Hurikan Katrina: Siklon tropis besar.

Tusuk kondhe: Tusuk rambut berbentuk panjang, runcing, dan berukuran 5-9 inchi yang berfungsi sebagai sanggul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline