Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Taufiq Ismail: Puisi, Kredo, dan Kepeduliannya pada Wong Cilik

Diperbarui: 2 Juli 2024   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Taufiq Ismail Sumber Foto: aminef.or.id

Di dalam sejarah sastra Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan Angkatan 66. Suatu angkatan sastrawan cetusan Hans Bague (HB) Jassin tersebut mencatat beberapa nama kreator karya sastra (penyair), antara lain: Slamet Sukirnanto, Bur Rasianto, Abdul Wahid Situmeang, dan Taufiq Ismail.

Terlepas dari kontroversi karena penolakan nama Angkatan 66 oleh Satyagraha Hoerip dan Ratmat Djoko Pradopo, Taufiq Ismail tetap diakui eksistensinya sebagai penyair. Seorang kreator yang produktif pada era ketidakstabilan politik di dalam negeri. 

Bersama para kreator sastra yang berkarya pada era 60-70an, Taufiq Ismail dapat dsebut sebagai penyair Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Suatu angkatan cetusan Satyagraha Hoerip yang dapat ditangkap sebagai counter (penolakan) terhadap Angkatan 66.

Sebagai penyair, Taufiq Ismail -- putra pasangan A. Gaffar Ismail dan Sitti Nur Muhammad Nur yang lahir tahun 1935 -- tidak memedulikan kontroversi angkatan antara HB Jassin versus Satyagraha Hoerip. Mengingat darma seorang penyair tidak mencampuri urusan pengamat (kritikus) sastra, melainkan hanya mencipta puisi sebaik mungkin.        

Berkat kesetiaan darmanya di dalam berkarya sastra, Taufiq Ismail melahirkan beberapa buku antologi puisi, di antaranya: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Ketika Kata Ketika Warna, dan lain-lain. Selain itu, Taufiq juga membacakan karya-karyanya di beberapa kota Asia, Australia, Afrika, Eropa, dan Emerika.

Tidak aneh bila Taufiq Ismail yang telah teruji proses kreatifnya dalam penciptaan puisi tersebut mendapat beberapa penghargaan, di antaranya: Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1970), Taufiq Ismail mendapat penghargaan Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), dan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994).

Pada tahun 1971-1972, Taufiq Ismail menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Kemudian pada 1993, Taufq menjadi penyair tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dulu Insitutut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, Taufiq mendapatkan gelar doctor honora causa.

Puisi Tidak Serius yang Serius

Dalam pernyataannya, Taufiq Ismail merasa bosan dengan puisi-puisi serius. Kebosanan Taufiq tersebut terbuktikan dengan karya-karyanya yang tidak terikat dengan segudang aturan penciptaan puisi yang rumit. Di mana, puisi harus diciptakan dengan memertimbangkan unsur diksi, metafora, simbol, gaya bahasa, dan tetek bengek lain yang memenjarakan kemerdekaan penyair dalam berkreasi dan bereksplorasi.

Kemerdekaan Taufiq Ismail dalam penciptaan puisi tersebut mencerminkan sikapnya yang tidak ingin terbelenggu dari kemapanan. Penjara yang akan membatasi penyair untuk melakukan dinamisasi dan pembaruan dalam dunia puisi. Sehingga puisi hanya akan menahtakan penyair di puncak menara gading. Tidak menjadikan penyair sebagai inspirator bagi publik dalam kehidupan yang membumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline