Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Membuka Tabir Manunggaling Kawula Gusti

Diperbarui: 30 Juni 2024   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

rmol.id

Berkat kekuasaan Tuhan, manusia diciptakan. Ia yang dicipta dari empat anasir -- tanah, air, api, angin -- serta dijelmai roh (nyawa) mengalami hidup dan berkembang dari janin, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Hingga kelak, ia mengalami kematian.

Selama hidup, manusia seperti wayang. Kapan ia berperan di kelir, tergeletak di dalam kotak, atau turut berjajar diam di simpingan tergantung pada Ki Dalang. Penggerak kehidupan wayang yang berada di balik kelir. Dialah yang digambarkan oleh orang-orang Jawa sebagai Sang Penentu Hidup Manusia.

Selain digambarkan dengan wayang dan dhalang, hubungan manusia dengan Tuhan sering disimbolkan dalam sufistik Jawa sebagai keris dan warangka, sesotya dan embanan, atau diyan dan cahya, Suatu hubungan yang tidak terpisahkan hingga mencapai manunggaling kawula-Gusti. 

Kemanunggalan kawula-Gusti juga diungkapkan dengan hubungan Werkudara dan Dewa Ruci. Werkudara sebagai aku sang jagad cilik, dan Dewa Ruci sebagai Ingsun sang jagad gedhe. Pemahaman dalam sufistik Jawa inilah yang mendasari Syekh Siti Jenar menjawab Ingsun ketika ditanya tentang siapa Tuhanmu. Ingsun di sini bukan Siti Jenar, melainkan Tuhan yang menguasai kehidupannya.

Pendapat lain datang dari Sunan Bonang. Salah satu anggota dari Majelis Dakwah Walisangat tersebut menyatakan bahwa seorang yang telah mencapai tataran hubungan kawula-Gusti kalau sudah menyerupai kodhok ngemuli lenge (katak yang menyelimuti lubangnya). Maknanya kawula harus menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Gusti. Seorang hamba harus mengikuti semua perintah Tuhan.

Di dalam mengkuti perintah Tuhan, manusia harus melaksanakannya dengan ikhlas. Dalam pelaksanaan perintah-Nya, manusia harus menggunakan etika yang telah diajarkan oleh setiap agama atau berbagai aliran kepercayaan. 

Maka tidak dapat dibilang santun bila manusia menjalankan perintah Tuhan dengan mengharapkan imbalan. Bila harapan imbalan masih terbersit di dalam benak, artinya manusia belum sempurna menyatu dengan Tuhan. Mencintai Tuhan dengan total.

Sampai di sini bisa dipahami bahwa sembahyang yang dilakukan manusia sebagai ekspresi cintanya kepada Tuhan. Bukan sebagai ungkapan permintaan manusia atas segala kebutuhan hidupnya di dunia, Hanya dengan total mencintai Tuhan, manusia akan dicintai-Nya.

Bentuk mencintai Tuhan bukan sekadar bersembahyang berdasarkan kesadaran sepenuhnya. Akan tetapi mencintai pada seluruh ciptaan-Nya. Bukan hanya mencintai semua manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, atau status sosial; namun pula mencintai binatang, tumbuhan, dan lingkungan alam.

Berakhir ditandaskan bahwa dengan menjalin hubungan cinta dengan Tuhan identik menjaga keselarasan hubungan kosmis. Bila hubungan manusia dengan makhluk Tuhan, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan dapat terealisasi; maka kehidupan di dunia akan tenteram. Jauh dari perang dan bencana besar yang menimbulkan jutaan korban. (Sri Wintala Achmad)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline