Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Dari Sejarah Sastra Hingga Gerakan Literasi Sekolah

Diperbarui: 27 Juni 2024   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

stekom.ac.id

Sebagai bagian dari produk budaya, kesusastraan terus mengalami perkembangan selaras dengan zaman (nut jaman kelakone). Sejak era Kahuripan, Kadiri dan Janggala, hingga Wilwatikta (Majapahit); kesusastraan yang tumbuh di Jawa berupa kakawin. Masa itu muncul beberapa karya sastra, antara lain: Kakawin Arjuna Wiwaha (Pu Kanwa), Kakawin Smaradahana (Pu Dharmaja), Kakawin Bharatayuddha (Pu Panuluh dan Pu Sedah), Kakawin Nagarakretagama dan Kakawin Nirartha Prakretha (Pu Prapanca), Kakawin Arjunawijaya dan Kakawin Sotasoma (Pu Tantular), Kakawin Lubdhaka dan Kakawin Wrttasancaya (Pu Tanakung), dan Kakawin Kunjarakarna Dhanakathana (Pu Dusun).

Semasa Kesultanan Demak yang semakin menunjukkan taringnya sebagai kerajaan Islam paska surutnya Wilwatikta, kesusastraan cenderung bernapaskan Islami dalam bentuk suluk. Melalui Sunan Bonang, beberapa karya, semisal: Suluk Wragul, Suluk Wujil, dan Suluk Wali dilahirkan. Masa itu, beberapa karya syair yang dilagukan, semisal: Tamba Ati (Sunan Bonang), Padhang Bulan (Sunan Giri), dan Ilir-Ilir (Sunan Kalijaga) turut mewarnai kehidupan sastra di Jawa.

Kehidupan sastra terus mengalami perkembangan secara dinamis. Sejak era Mataram Islam hingga Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, dan Praja Mangkunegaran; karya sastra baik berupa suluk, serat, maupun babad dilahirkan oleh para raja, di antaranya: Sastra Gendhing (Sultan Agung), Serat Wulangreh (Sri Susuhunan Pakubuwana IV), dan Serat Wedhatama (KGPAA Mangkunegara IV).

Selain para raja, terdapat para pujangga keraton dari Kasunanan Surakarta semisal: R. Ng. Yasadipura II, R.Ng. Ranggasutrasno, R.Ng. Sastradipura, Pangeran Jungut Mandureja, Pangeran Karanggayam, Pangeran Adilangu II, Tumengung Tirtawiguna, Carik Braja, dll menggubah beberapa karya sastra. Melalui para pujangga keraton Surakarta tersebut, beberapa karya sastra semisal: Babad Tanah Jawi, Serat Pararaton, Serat Centhini, Babad Palihan Nagari, Babad Dipanegara, dan lain-lain diciptakan.

Surutnya kepujanggaan R.Ng. Yasadipura II dkk bukan berarti surutnya kesusastraan di Surakarta. Terbukti semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana V (1820-1823) hingga Sri Susuhunan Pakubuwana VII (1861-1893), muncul seorang pujangga tangguh yang sangat produktif. Dia adalah R.Ng. Ranggawarsita III, cucu R.Ng. Yasadipura II, yang memiliki nama asli Bagus Boerhan. Melalui gagasan kreatif Ranggawarsita, karya-karya sastra seperti: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Jayengbaya, Serat Cemporet, Serat Sabdatama, Serat Candrarini, Serat Witaradya, Suluk Saloka Jiwa, Wirid Hidayat Jati, Pustakaraja, dan lain-lain dilahirkan.

Paska era kepujanggaan R.Ng. Ranggawarsita III, kehidupan sastra modern mulai memengaruhi para sastrawan. Akibatnya, sastra modern mulai mengalami perkembangan di Jawa. Akibat lainnya, para sastrawan tidak lagi didominasi oleh para pujangga keraton, melainkan pula oleh masyarakat biasa yang mulai melek dengan tradisi tulis dan literasi.

Fakta semakin meningkatnya kuantitas sastrawan yang menggeluti karya sastra modern semakin kentara ketika paska kemerdekaan Republik Indonesia. Banyak karya sastra dilahirkan oleh para sastrawan baik dari Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960, Angkatan 1966-1970, Angkatan 1980-1990, Angkatan Reformasi, maupun Angkatan 2000. Para sastrawan yang berkarya dari dari masa ke masa tersebut bukan sekadar berasal dari Jawa, Jawa Barat, dan Jakarta; melainkan pula dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan lain-lain.

Perkembangan sastra modern di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya bukan lagi sekadar memosisikan karya sastra sebagai media tuntunan (media edukasi), media hiburan, dan pengisahan sejarah yang berpadu mitos sebagaimana sastra Jawa kuna; namun pula sebagai media kritik sosial, gerakan ideologis, aksi atau reaksi politis dari para sastrawan.

Ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintahan Orde Baru (baca: pemerintahan Soeharto), para sastrawan yang tidak memiliki kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi cenderung mengarahkan karya-karyanya sebagai media kontemplatif, edukatif, dan pelipur lara (rekreatif).

Pembaca yang disasar oleh para sastrawan bukan sekadar kaum intelelektual, masyarakat akademis yang tengah studi di kampus, orang dewasa, dan kaum remaja; namun pula anak-anak. Mengingat waktu itu, banyak koran, majalah, tabloid, serta penerbit yang membuka peluang bagi para sastrawan untuk mencipta dan memublikasikan karya (baca: cerita anak) sebagai konsumsi anak-anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline