Wong Jawa ilang Jawa-ne. Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa orang Jawa sudah jarang menggunakan bahasa Jawa, tidak mencintai budaya Jawa, tidak mengenal ilmu dan pengetahuan (filosofi) Jawa, dan tidak menjadikan etika Jawa sebagai pedoman hidup dalan hidup keseharian.
Salah satu faktor penyebab orang Jawa kehilangan Jawa-nya adalah budaya modern yang terus menggerus jiwa ke-Jawa-an. Sebagaimana disebutkan di muka bahwa informasi global, turis asing, dan media digital memiliki pengaruh kuat terhadap lunturnya cinta budaya Jawa dari masyarakatnya sendiri.
Bila budaya Jawa yang semakin terancam punah karena gerusan budaya modern tidak dijaga, maka dipastikan etika di dalam dunia pendidikan tidak akan diterapkan oleh warganya sendiri. Dengan demikian, syarat untuk melestarikan etika Jawa di dalam dunia pendidikan (sekolah) yakni dengan menyelamatkan terlebih dahulu budaya Jawa. Bukankah etika merupakan bagian dari budaya? Berikut adalah cara menyelamatkan budaya Jawa yang dianggap lebih efektif:
Memperkenalkan nilai, filosofi, dan makna simbolik produk budaya Jawa
Peribahasa “Tak kenal maka tak sayang” memang tidak bisa disangkal kebenarannya. Secara faktual, peserta didik tidak mencintai budaya Jawa karena tidak mengenal nilai, filosofi dan makna simbolik dari setiap produknya. Akibatnya ia tidak peduli dengan semua produk budaya Jawa, termasuk etika.
Untuk dapat mencintai budaya Jawa, peserta didik harus diperkenalkan oleh guru perihal nilai, filosofi, dan makna simbolik dari setiap produknya. Hanya dengan cara demikian, ajaran etika yang bersumber dari setiap produk budaya Jawa dapat dipahami oleh peserta didik.
Bermodalkan pemahaman, peserta didik akan menerapkan etika Jawa dalam kehidupan kesehariannya. Tentu, ia akan menjadikan etika sebagai bekal di dalam menggunakan produk budaya modern secara bijak dan beradab. Sehingga produk budaya modern yang berfungsi untuk meningkakan pendapatan, ilmu pengetahuan, serta hasil positif lainnya dapat diraih. Bukan sebaliknya, budaya modern justru akan menjadikannya peserta didik sebagai generasi yang kontra kreatif dan produktif.
Memberikan tauladan dalam penerapan budaya Jawa
Guru yang bijak harus melakukan ajaran etika yang tersirat di dalam setiap produk budaya Jawa. Kalau mereka hanya pintar berteori namun tidak mempraktikkan etika tersebut, maka bisa dipastikan kalau peserta didik tidak akan mengamalkannya. Bukankah tauladan merupakan nasihat tak tertulis namun pengaruhnya tiada tanding?
Dapat dicontohkan beberapa tauladan guru yang berpengaruh sangat besar adalah sebagai berikut:
- Bila menghendaki peserta didik untuk menggunakan bahasa Jawa krama, maka guru seharusnya tidak menggunakan bahasa Jawa ngoko. Dengan ia menggunakan bahasa Jawa krama pada siapa saja, peserta didik akan mengikuti tauladan itu. Fakta ini selaras dengan peribahasa Jawa, “Kacang ora ninggal lanjaran.”
- Bila guru menginginkan peserta didik tidak bermain android saat berdialog dengan orang lain, maka ia jangan melakukan hal sama. Ketika guru sibuk bermain android saat bicara dengan anaknya, maka si anak akan mengikuti contoh buruk itu. Ketika guru bermain android ketika mengajar, maka jangan salahkan bila peserta didik yang tengah belajar melakukan tindakan serupa.
- Bila guru mendambakan peserta didik memiliki unggah ungguh dalam perilakunya, maka tindakan mereka seharusnya tidak melanggar etika. Mengingat murid akan kencing berlari, bila gurunya kencing berdiri. Guru adalah sosok yang selalu digugu dan ditiru. Ditauladani perilakunya oleh semua peserta didik.