Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Etika Jawa versus Budaya Modern

Diperbarui: 24 Juni 2024   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. Instagram @happy_asmara77

Sebelum datangnya era digital, budaya modern sudah mengalami perkembangan di tanah Jawa. Budaya tersebut bukan hanya diperkenalkan oleh informasi global, namun pula oleh para turis asing yang sedang wisata di Jawa. Perempuan-perempuan manca yang mengenakan pakaian minim saat jalan-jalan di pantai, sepanjang trotoar di kota, atau perkampungan sudah dianggap lazim. Pergaulan tanpa sekat antara turis wanita dan laki-laki bukan sesuatu yang tabu.

Ketika dunia digital makin maju, perkembangkan budaya modern semakin pesat. Sehingga generasi muda yang tidak diperkenalkan oleh orang tua terhadap budaya leluhurnya dapat menerima budaya modern tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap etika Jawa. Naifnya, generasi muda yang menggunakan produk budaya modern merasa terbebas dari kekunoan (kekolotan) yang disandang oleh generasi bahola.

Realitas yang lebih buruk, generasi muda merasa lebih pintar dan lebih unggul ketimbang orang tua. Karena kecongkakannya tersebut, penghormatan dari generasi muda kepada orang tua mulai memudar. Ketika berdialog dengan orang-orang yang layak dihormati tidak lagi menerapkan unggah-ungguh. Etika Jawa sudah dianggapnya ketinggalan zaman.

Bukan hanya kepada orang tua, banyak anak muda yang semakin asing dengan etika Jawa tidak menerapkan unggah-ungguh kepada guru, kawan sejenis dan lain jenis, serta masyarakat. Akibatnya muncul klaim bahwa mereka telah menjadi wong Jawa ilang Jawa-ne. Orang Jawa yang telah kehilangan ke-Jawa-annya.

Kepada sang guru, etika anak muda mulai luntur. Asumsi tersebut berdasarkan realitas bahwa banyak siswa (mahasiswa) yang memperlakukan guru (dosen) mereka serupa teman. Mereka tidak lagi mencium tangan ketika bertemu seorang figur yang semustinya dihormati. Bahkan mereka yang telah diberi hati justru ingin menginjak harga diri guru. Dalam istilah Jawa, dinehi ati ngrogoh rempela.

 Sikap anak muda kepada kawan sejenisnya cenderung semakin tidak saling menghargai. Mereka yang tidak lagi peduli dengan ajaran etika Jawa sering tidak memanggil kawannya dengan nama asli, melainkan dengan sebutan "Ndhes" atau "Nyuk." Bahkan. kata "Su" yang tidak sepantasnya mereka ucapkan sering digunakan untuk memanggil nama temannya.

Fakta yang lebih memprihatinkan ketika anak-anak muda semakin tidak menghargai kawan lain jenisnya. Kepada teman-teman perempuannya, mereka sering melakukan pelecehan seksual. Berpacaran, berpelukan, berciuman, dan melakukan tindakan semi asusila di ruang publik. Sungguh! Pergaulan bebas mereka mencerminkan bahwa etika Jawa hanya berada di alam ide.

Di lingkup masyarakat Jawa, sudah banyak anak muda yang sering membuat resah hingga suasana tidak nyaman. Tidak peduli siang atau malam, mereka mabuk-mabukan sambil tertawa cekakakan. Membunyikan musik dangdut dengan volume tinggi saat malam hari. Menggeber-geber motornya hingga memekakkan telinga.  

Kebebasan anak-anak muda yang tidak memerdekaan orang lain sudah mencapai ambang batas. Wajar bila banyak orang mengklaim bahwa pengaruh negatif budaya modern telah merasuki jiwa mereka. Pengaruhnya bukan hanya ketika mereka tidak menggunakan produk budaya modern semisal internet melalui personal computer, laptop, notebook, tablet, atau android; namun pula ketika tidak bijak selama menggunakannya.  

Banyak sudah dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik penyalahgunaan internet dari para user, terutama generasi muda. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang paling menonjol hingga banyak orang merasa resah karena praktik penyalahgunaan internet:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline