Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

Penulis, Editor Video, Graphic Designer

Sum /7/

Diperbarui: 24 Juni 2024   05:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kumparan.com

Sebagaimana Bulik Rinten dan Johan, aku pun meninggalkan Taman Kuliner. Sejak dari halaman parkir hingga rumah, aku merasakan kebahagiaan Bulik Rinten. Sepanjang jalan, ia melantunkan lagu-lagu cinta seperti anak ABG. Dugaanku semakin kuat, kalau Bulik Rinten menjalin hubungan cinta dengan Johan.

Merasa capek; aku yang telah membasuh muka, tangan, dan kaki bergegas ke tempat tidur. Belum sempat membuka android baru yang dibelikan Bulik Rinten dari box-nya, aku rebahkan tubuhku di dipan dengan kasur berseprei bunga mawar merah merekah. Terlelap dalam tidur.

Bersama adzan subuh yang sayup sampai terdengar dari masjid, aku terbangun. Usai wudlu dan sholat, aku bergegas ke dapur. Membantu Bulik Rinten yang sedang menanak nasi, memasak aneka sayur, menggoreng aneka lauk, dan merebus air.

Dalam hal masak-memasak, Bulik Rinten memang jago. Sebelum jam 6; nasi, aneka sayur, aneka lauk, dan rebusan air sudah siap dibawa di warung makannya. Ketika warung siap buka, banyak pelanggan menyerbunya. Bukan hanya Bulik Rinten yang kewalahan melayani mereka. Aku pun kuwalahan saat mencuci piring dan gelas yang persediaannya terbatas.

Ambang 10 siang, ayam dan telor hampir habis. Karenanya, aku diminta Bulik Rinten untuk belanja di pasar. Semula aku ingin naik angkot yang masih tersisa di kota itu. Namun, aku urungkan. Johan yang datang di warung akan mengantarkanku ke pasar dengan mobilnya.

Karena belum pernah berbelanja di pasar sentral kota dekat alun-alun, aku diantar Johan menuju tempat jualan telor dan ayam. Selama berjalan di antara jubelan orang-orang, Johan yang berjalan di belakangku sering memegang kedua pinggangku. Sungguh aku merasa aman dan nyaman. Tidak khawatir ada pencopet yang menjaili uang di saku blue jeans baruku.

Telor 10 kilo dan ayam 20 kilo yang aku beli sudah masuk di dalam tas kresek putih. Saat barang belanjaan akan aku bawa, tangan Johan sudah meraihnya. Merasa takut denga keramaian pasar, naluri Hawa-ku sontak meminta perlindungan Johan. Tanpa aku sadar, aku memegang lengan kiri Johan yang kekar dan berotot.

Sepanjang jalan menuju warung, aku semakin mamahami diriku sebagai gadis desa yang polos. Manakala Johan menyetir mobil dengan tangan kanan lantaran tangan kirinya menggenggam jari-jari tangan kananku, aku merasa nyaman. Aku sendiri tak tahu kenapa aku merasa terlindungi dengan lelaki yang usianya lebih tua dariku. Kira-kira berjarak 25 tahun.

Dengan wajah agak tertunduk, aku lemparkan lirikan ke wajah Johan yang berkumis cukup lebat. Wajahnya lumayan tampan. Hidungnya mancung. Kedua sinar matanya tajam. Hingga wajah menebarkan aura kebapakan yang penuh wibawa. Tak heran bila Bulik Rinten tampak menyukai lelaki itu.

Bisikan muncul dari dasar hati kalau aku mulai tertarik dengan Johan. Lelaki yang mengingatkan mendiang ayahku. Di sampingnya, aku semasih kecil selalu disayang, dipeluk, dan dimanja. Sesudah ibu meninggal hingga ayah menikah, rasa kasihnya padaku mulai terbagi dengan ibu dan saudara tiriku.

Sontak batinku yang tak terkendali lirih bertanya, "Akankah aku dan Bulik Rinten berebut cinta dari Johan?" (Bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline